Sabtu, 25 Juli 2009

Bab 13 - Al-Ma’arii

Abu ‘L-ala Ahmad b. Abdallah al-Ma’arri (973-1057)[1], kadang dijuluki Lucretius dari Timur, adalah zindiq terbesar ketiga dalam Islam. Muslim sejati tidak ada yang merasa nyaman akan puisi2nya karena skeptisisme dia terhadap agama pada umumnya dan Islam pada khususnya.

Lahir di Syria tidak jauh dari Aleppo, pada masa kecilnya Al-Ma’arii terserang yang mengakibatkan kebutaan total. Dia sekolah di Aleppo, Antiokhia dan kota2 Syria lain sebelum kembali kekampung halamannya, Maara. Ketika dia mulai terkenal sebagai seorang penyair, Al-Ma’arii tertarik akan kemasyuran Baghdad. Dia berangkat kesana tahun 1008 tapi hanya selama delapan bulan saja. Ketika pulang, dia hidup setengah pensiun utk lima puluh tahun berikutnya hingga dia meninggal. Tapi begitu terkenalnya dia hingga orang2 berduyun2 ke Maara utk mendengarkan kuliahnya dalam bidang puisi dan tata bahasa.

Puisinya sangat terpengaruhi oleh pesimisme yg mendalam. Dia terus menerus membicarakan kematian sbg sesuatu yang sangat didambakan dan menganggap prokreasi (beranak cucu) sebagai sebuah dosa. Kadang, dia menyangkal kebangkitan:

1
Kami tertawa. meskipun itu sendu
Layaklah kami menangis dengan tersedu
Dengan hati yang pecah seperti kaca remuk
Hancur dan tak lagi dibentuk

Konon katanya dia ingin puisi berikut ditulis pada nisannya:

2
Dosa ini, ayahku yang lakukan
Padaku, pada yang lain tak pernah kulakukan

Dengan kata lain dia mengatakan alangkah baiknya jika ia tidak dilahirkan:

3
Lebih baik buat Adam dan yang dihasilkan dari rusuknya
Adam dan dia, yg belum lagi lahir, tak pernah diciptakan!
Saat tubuhnya hanya debu dan tulang ditanah
Ah, apa dia rasakan yang dilihat dan diderita anak2nya.

Sedang utk agama, semua manusia tanpa tanya menerima dalil2 kebiasaan ayah mereka, tak mampu membedakan yg benar dari yang salah:

4
Kadang kau temukan orang yang ahli dagang,
sempurna dalam kecerdikan dan argumen,
tapi ketika masuk dalam masalah agama
dia menjadi bodoh dan keras kepala,
begitulah dia ikuti alur2 tua itu.
Kebaikan tertanam dalam sifat alami manusia;
tempat yang pasti.
Ajaran utk anak yg berasal dari mulut orang2 tua
akan tinggal didalam mereka sepanjang hidup.
Rahib2 dibiara dan ulama di mesjid menerima dalil
seakan seperti sebuah kisah dari yang menceritakannya,
tanpa membedakan tafsir sejati dan palsu.
Jika ini sampai pada sanak saudara kaum Magian, atau kaum Sabian,
dia akan mengumumkan dirinya sebagai orang Magian,
atau diantara Kaum Sabian dia akan menjadi mirip seperti mereka.

Buat al-Ma’arri, agama adalah sebuah ‘dongeng yang diciptakan orang2 jaman dulu’, tak berguna kecuali bagi mereka yang berniat mengeksploitasi massa:

5
Jadi, begitu pula iman manusia: ia menang
Lalu gagal ; ketika iman lain datang
Saat iman lain berjaya; ay, dunia benar2 merindu
Selalu ingin dongeng terbaru

Dilain waktu dia menyebut agama2 sebagai “rumput berbisa”:

6
Disela reruntuhan iman
diatas unta buluh dimainkan
Dan diseru orang-orangnya – “Mari kita pergi!
Penuh rumput berbisa padang disini."

Jelas dia mensejajarkan Islam dengan iman2 kepercayaan lain dan dia tidak mempercayai satu patah katapun dari semua itu.

7
Para Hanif (muslim) berguguran, Kristen tersesatkan
Yahudi kebingungan, Magian salah jalan
Hanya ada dua macam manusia tak kekal
Begundal berhikmat atau fanatik bebal

8
Apakah agama itu? Gadis yg dekat tapi tak boleh dipandang;
Ongkos nikah dan maharnya membuat susah para peminang
Kudengar dari mimbar semua doktrin kebaikan
Tak sepatahpun hati pernah mengabulkan

9
Perang jihad oleh pejuang muslim ditarungi
Pekerjaan Suci oleh para kristen diarungi
Dan juga keyakinan para Yahudi dan Sabian
Keberanian mereka tidak menjangkau kebaikan orang indian
Darimana kefanatikan dan pesona religi terilhami
Keatas tumpukan bara tubuh mereka dilempari
Tetap saja kematian adalah tidur panjang yang pasti
Dan sepanjang hidupnya terjaga diatas kematian kami
Sholat didirikan, ucapan putus asa dilantunkan;
Dan disanalah kami berbaring, tak pernah beringsut lagi
Haruskah aku begitu takut semayam di ibu Pertiwi?
Betapa empuknya terbuai dibuah dada Pertiwi!
Ketika semangat buta dariku telah sirna.
Oleh hujan biarkan tulang tak segarku dibusukkan!

Disini, di nomor 9, al-Ma’ari membuat kutipan yang mengagumi kebaikan orang Indian (India) daripada orang muslim dan juga mengagumi adat India dalam hal kremasi, ia tetap berkeras bahwa kematian bukanlah hal yang menakutkan, hanya sebuah keadaan jatuh tertidur. Dalam kumpulan puisinya yang dikenal dengan “Luzumiyyat”, al-Ma’arri jelas lebih suka dikremasi daripada dikubur cara muslim. Pada hari kiamat, menurut kepercayaan muslim ada dua malaikat, Munkar dan Nakir yang membuka kuburan orang mati dan menanyai iman mereka dengan cara yang kejam. Mereka yang tidak beriman didorong kembali kedalam kubur utk menunggu masuk neraka. Tak heran al-Ma’arri lebih suka dikremasi. Tentu saja, para muslim menganggap ide kremasi ini sangat menjijikan:

10
Dan kematian seperti India aku tak khawatir
Menghadap Ilahi dalam nyala api; yang berkobar
Malaikat api lebih halus gigi dan mulutnya
Lebih baik dari Munkar dan Nakir yg mengerikan

Margoliouth telah menyusun sentimen berikut dari puisi2nya al-Ma’arri:[2]

11
Jangan anggap pernyataan2 para nabi itu benar; semuanya karangan.
Manusia hidup nyaman sampai mereka datang dan merusak.
“Kitab Suci” hanya sekumpulan dongeng pengangguran yg mudah
dan sudah pernah dibuat oleh anak kecil sekalipun.
Inkonsistensi seperti apa Tuhan yang melarang mengambil nyawa,
tapi Dia sendiri mengirim dua malaikat pencabut nyawa!
Dan seiring janji kehidupan kedua
– jiwa bisa saja kehilangan dua kehidupannya sekaligus.

Pemikiran lebih lanjut tentang para nabi mengungkapkan bahwa al-Ma’arri tidak menganggap mereka itu lebih dari para ulama tukang bohong:

12
Nabi2 juga, yg datang diantara kita utk mengajari
Sama saja dengan mereka yang di mimbar mendakwahi
Mereka berdoa dan membunuh dan terbunuh, tapi tetap saja
Penderitaan kita seperti pasir ditep pantai

Islam tidak punya monopoli dalam hal kebenaran:

13
Muhammad atau Messiah! Kalian dengarkan saya
Seluruh kebenaran tidak disini tidak juga disana
Bagaimana bisa Tuhan yang mencipta matahari dan bulan
Memberi semua cahayaNya pada seorang yang tak bisa kupandang

Sedang bagi para alim ulama, al-Ma’arri membenci mereka secara total :

14
Dengan Tuhan sebagai saksi, jiwa manusia itu tanpa
akal, seperti jiwa para ngengat
Mereka katakan “Orang suci!” tapi sang suci tidak jujur
suka berdalih dan kata2nya melukai

15
Demi tujuan akhir kotornya
Ke mimbar dia mendaki
Dan meski tak percaya kebangkitan
Dia buat semua pendengar gemetar
Sementara dia mengucap kebohongan
Tentang kiamat yang menyengat ingatan

16
Mereka lantunkan Kitab Suci, meski fakta padaku berkata
Bahwa semua itu fiksi dari awal sampai akhirnya
O Akal, kau (sendiri) yang menyuarakan kebenaran
Lalu binasakan sitolol yang memalsukan hadis dan menafsirkan!

Al-Ma’arri adalah seorang rasionalis sejati yang kemana-mana menegaskan bahwa “hak memakai akal adalah melawan klaim2 kebiasaan, tradisi dan otoritas.”

17
Oh, gantungkan dirimu dijalan akal, kebenaran kau pastikan
Jangan biarkan harapan digantungkan kecuali pada sang Pemelihara!
Dan padamkan sinar sang Maha Kuasa,
karena Lihatlah, Dia telah berikan semua
Sebuah cahaya akal utk dipakai dan dinikmati
Kulihat umat manusia tersesat dalam kebodohan: bahkan mereka yg
Berumur muda mengira-ngira, layaknya anak2 bermain mora

Mora = permainan tebak2an anak2

18
Hadis datang dari masa lalu, penting sangat jika itu betul
Ay, tapi betapa lemah untaian mereka yang meriwayatkan
Pakai akal dan biarkan kutukan membawa yang tidak memakai
Dari semua, pertemuan akal yang terbaik akan mengawal

Keraguan kecil lebih baik daripada kepercayaan total.

19
Dengan takut pada yang kupercayai, kutemukan jalanku
Menuju kebenaran; dengan percaya penuh aku dikhianatkan
Percaya pada kebijaksanaan; jauh lebih baik adalah keraguan
Yang membawa kepalsuan menuju sinar terang.

(Pemikiran dalam quatrain 19 ini bisa dibandingkan dengan karya Tennyson : “Ada banyak kebenaran dalam keraguan yg tulus
Percaya padaku daripada semua kepercayaan.”)

Al-Ma’arri menyerang banyak dogma-dogma dari islam, khususnya tentang ibadah haji yang dia sebut sebagai “perjalanan penyembah berhala.” “Al-Ma’arri menganggap islam, dan agama pada umumnya, sebagai institusi manusiawi. Sehingga palsu dan busuk sampai keinti-intinya. Para pendirinya berusaha mengumpulkan kekayaan dan kekuasaan bagi diri mereka sendiri, para ulamanya mengejar tujuan2 duniawi, para pembelanya bersandarkan pada dokumen2 palsu yang mereka katakan dari utusan2 yang terilhami, dan para pengikutnya menerima seperti robot apapun yang mereka katakan utk percaya.”[3]

20
O Bodoh, bangunlah! Ritual yang kau pandang keramat
Tak lain hanyalah tipuan oleh orang2 dahulu
Yang bersyahwat utk kekayaan dan berusaha memenuhi hasrat
Dan mati dalam kehinaan – dan hukum mereka menjadi abu

21
Puji tuhan dan bersholat
Berjalan tujuhpuluh bukannya tujuh kali, Kabah diputari
Tapi tetap tak beriman
Kesalehan hanya dia seorang, yang ketika dia bisa
Melahap keinginan, ditemukan
Keteguhan utk berpantang

22
Pahala dibagikan, batu dihampiri
disentuh tangan dan diciumi
Seperti Batu Suci atau Dua Malaikat Qurayshi
Namun tetap keduanya hanya batu yang dulu ditendangi

Yang dimaksud al-Ma’arri adalah dua sudut Kabah di Mekah dimana dipasang Batu Hitam dan batu yang katanya menjadi nisan Ismael.

23
Aneh cara Quraish dan orang2nya membersihkan diri
juga muka mereka dalam bau-bauan yang menakutkan;
Dan seru kristen, O God Almighty
Disiksa, dihina dan disalibkan
Yang Esa harusnya yg Yahudi gambarkan
Yang suka akan bau tubuh dipanggang;
Dan tetap saja aneh para muslim jauh berjalan
Hanya utk mencium batu yg katanya hebat dan berwarna hitam
Almighty God! Akankah semua ras manusia
Tersesat membuta dari altar kebenaran?

24
Mereka tidak mendasarkan agama pada dasar logis apa2,
dg jalan mana mereka barangkali memutuskan Sunni dan Shia.
Dalam pendapat sebagian yang aku tidak sebutkan,
Batu Hitam hanya sisa berhala sembahan
dan batu altar pengorbanan.

Disini pada syair no.24 al-Ma’arri menghubungkan pendapat dengan sebuah kritik, dg begitu ia menghindari dirinya dari tuduhan penghujatan, tapi kita tahu dari kutipan 22 dan 23 bahwa dia menganggap ibadah haji termasuk mencium batu Hitam adalah takhyul tak masuk akal.

Agama-agama tidak hanya menghasilkan kefanatikan dan pertumpahan darah, dimana sekte berperang dengan sekte, orang2 fanatik memaksakan kepercayaannya pada orang lain dengan pedang. Semua agama bertentangan dengan akal dan pikiran waras:

25
Jika orang menilai memakai akalnya,
Dia pandang rendah macam2 keyakinan dan membencinya
Ambil daripadanya sebanyak yg akal bawakan
Dan jangan biarkan ketidak-pedulian
menceburkanmu kedalam kolam kebekuan

26
Jika saja mereka dibiarkan memakai akal,
mereka tidak akan menerima kebohongan yang disampaikan;
tapi cambuk telah diangkat (utk mereka).
Hadis telah dibawakan pada mereka,
dan mereka diperintahkan utk bicara
“Kebenaran telah disampaikan”;
dan jika mereka menolaknya,
pedang akan bermandikan darah mereka.
Mereka ngeri akan sarung pedang penuh bencana,
dan tergoda oleh mangkuk penuh meluapkan pahala

27
Kepalsuan telah begitu merusak seluruh dunia
Tak pernah teman sejati mereka yang terbagi sekte
Tapi elemen alami Manusia bukanlah kebencian
Gereja2 dan mesjid2 bangkit bersisian

Keterbatasaan tempat pada buku ini membatasi kami memaparkan contoh2 Al Ma'arri lainnya yg menyerang tanpa ampun segala macam ketakhyulan – astrologi, nujum, percaya akan pertanda2; kebiasaan menyerukan “Alhamdulillah” ketika bersin; mitos seperti umur ratusan tahun dari kakek moyang, mukjijat2 dll.

Al-Ma’arri lebih jauh menyinggung perasaan Muslim dengan menyusun parodi kacau dari Quran dan tulisnya “menurut penilaian penulis, inferioritas Quran adalah karena belum dibuat mengkilap oleh jilatan pembacanya selama empat abad.”

Seakan belum cukup, al-Ma’arri menggabungkan ‘kesalahan2nya’ dimata kaum ortodoks dalam karyanya yang berjudul “the Epistle of Forgiveness”. Nicholson, yang pertama menerjemahkannya kedalam bahasa inggris diawal abad ini merangkum isinya dengan baik:

Disini, surga orang beriman (muslim) menjadi sebuah ruangan yang dihuni oleh para penyair kafir yang telah dimaafkan – lihat judulnya – dan diterima diantara orang2 yang diberi pahala. Gagasan ini dilukiskan dengan cerdik dan dengan semangat mengejek yang berani yang mengingatkan kita pada [i]Lucian. Para penyair menampilkan
serangkaian pembicaraan khayal dengan seseorang bernama Shaykh Ali b. Mansur, pada siapa buku ini ditujukan, melantunkan dan menjelaskan ayat2 mereka, berdebat diantara mereka dan bertingkah seperti seniman sastra umumnya.[4][/i]

Keistimewaan menakjubkan lain dari pemikiran al-Maari adalah dia percaya bahwa tak satupun makhluk hidup boleh dilukai dengan cara apapun. Dlm 30 thn terakhir hidupnya, ia pantang daging dan menjadi seorang vegetarian dan membenci semua pembunuhan binatang, baik itu utk makanan atau utk olah raga. Von Kremer berpendapat al-Ma’arri terpengaruh oleh kaum Ja'in dari India yg memuliakan semua makhluk hidup. Dlm puisinya, al-Ma’arri dengan teguh menganjurkan pantangan makan daging, ikan, susu, telur dan madu dengan dasar bahwa itu adalah tindakan tidak adil terhadap binatang. Binatang bisa merasakan sakit, dan sangat tidak bermoral jika melukai sesama makhluk hidup. Yang lebih mengagumkan adalah al-Ma’arri protes akan penggunaan kulit binatang utk pakaian, menyarankan memakai sepatu kayu dan mencela para wanita yang memakai baju kulit binatang. Von Kremer menyatakan bahwa pemikirna al-Ma’arri meloncat satu abad.

Selama hidupnya al-Ma’arri dituduh murtad, menghujat, tapi dia tidak diadili, tidak juga menderita hukuman karena alasan2 yang dianalisa Von Kremer dan Nicholson secara teliti. Al-Ma’arri sendiri bilang adalah bijak utk mendisimulasi puisi2nya; ia menggunakan banyak ayat ortodoks yang maksud sebenarnya adalah utk mengalihkan perhatian para penuduh murtad. Dihatinya, dia sepenuhnya skeptis & menertawakan hampir semua dogma dalam islam!

HIDUP AL-MA’ARRI!!

-------------------------
[1] Satu Bab ini didasarkan pada karya dari Nicholson, R.A. Studies in Islamic Poetry. Cambridge, 1921. Terjemahannya dilakukan oleh Nicholson dan muncul dalam bukunya tsb.
[2] Margoliouth, D.S. “Atheism (Muhammadan).” Dalam Encyclopaedia of Religion and Ethics.
[3] Nicholson, R.A. Studies in Islamic Poetry. Cambridge, 1921. Hal.173
[4] Nicholson, R.A. Literary History of the Arabs. Cambridge, 1930. Hal.318-19