Di Eropa, kerusuhan, demonstrasi dan pembakaran buku-buku dilakukan oleh para fanatik muslim yang memprotes Salman Rushdie, ini membangunkan Eropa akan akibat kehadiran beberapa juta orang yang tidak menghargai nilai-nilai sekuler, yang bahkan menentang nilai-nilai sekular itu sendiri. Sejak 1989, Perancis dan Inggris Raya telah mengambil posisi berbeda terhadap para pembicara muslim yang terus menerus menuntut kebebasan lebih luas dalam menjalankan adat kebiasaan mereka sendiri, yang kadang bertentangan dengan nilai-nilai hukum sekular di dua negara tersebut.
Para muslim didorong untuk membunuh warganegara inggris. Anehnya polisi inggris tidak mengambil langkah apapun utk menangkap orang yang menganjurkan hal tersebut, mereka yang dimuka umum menyerukan pembunuhan Rushdie. Selama periode yang sama di Perancis, Perdana Mentri ketika itu Michel Rocard dengan jelas dan tegas berkata pada para muslim bahwa siapapun yang menyerukan pembunuhan akan ditangkap segera. Polisi inggris sendiri ragu dan lemah ketika Dr. Siddiqui dari Muslim Institut di London mendorong massa muslim pada pertemuan umum agar jangan mematuhi hukum inggris jika bertentangan dengan hukum Syariah.
Di Perancis, seorang imam turki yang mengklaim bahwa hukum Syariah lebih tinggi dari hukum Perancis langsung dideportasi dalam 48 jam! Tapi tidak ada pendekatan yang sama mengenai Sunat wanita. Dlaam sebuah artikel dalam Koran harian inggris the Independent 7 July 1992, kita membaca bahwa: “Pihak berwenang lokal dan para pekerja sosial menutup mata dalam hal sunat wanita yang terjadi pada anak2 wanita Afrika dan komunitas negara dunia ketiga di Inggris karena takut dianggap rasis,” Meski sunat wnaita dinyatakan ilegal di Inggris tahun 1985. Artikel itu menyatakan, staff pekerja sosial dan kesehatan juga ragu utk mencegah atau melaporkan penyunatan tsb karena konflik dengan kebijakan anti rasis. Hal ini terus menjadi kebingungan mengenai apa yang sah dalam hal kebudayaan, mana yang harus lebih dihargai dan HAM apa yang telah dilanggar.” Lebih dari 10.000 anak perempuan terancam. Setahun sebelumnya di Perancis Maret 1991, tiga orang Mali dibawa kepengadilan. Satu orang, Armata Keita dituduh melakukan penyerangan yang berujung pada tersunat/terlukanya seorang anak perempuan dibawah umur 15 tahun; yang dua lainnya, Sory dan Semit Coulibaly, orang tua dari anak yang disunat, dituduh membantu kejahatan. Dalam sebuah laporan Le Monde, yang belakangan dicetak dalam Mingguan Inggris Guardian Weekly 24 Maret 1991, Catherine Sviloff, seorang pengacara yang mewakili asosiasi Enfance et Partage, dikutip telah mengatakan bahwa dia tidak meragukan niat luhur dari mereka yang melakukan penyunatan: “Tapi Cuma karena orang mengerti motif “terhormat” dibelakangnya tidak berarti tindakan demikian jadi dibenarkan. Ini sama saja dengan mengotorisasi praktek sunatnya.” Laporan itu melanjutkan, “Sviloff dg demikian berpendapat bahwa ada ‘tempat bagi penindasan’ dan bahwa kegagalan mengutuk tindakan tsb akan berakibat terjadinya kejadian serupa. Monique Antoine mewakili asosiasi Keluarga Berencana juga menekankan bahwa sikap terlalu berlebihan akan berujung pada rasisme terbalik.”
Para penuntut menyatakan: “Penyunatan tidak bisa diterima. Mengijinkan tindakan demikian saat ini sama dengan mengutuk banyak anak-anak wanita yang tinggal ditanah Perancis dan menyangkal perlindungan hukum bagi mereka.” Armata Keita dihukum lima tahun penjara dan keluarga Coulibaly penangguhan lima tahun penjara plus dua tahun masa probasi. Dua kasus ini mengangkat isu yang sangat fundamental mengenai relativisme budaya, multibudaya, kesetaraan dalam hukum dan bahwayanya memecah-mecah Masyarakat Perancis dan Inggris kedalam kelompok2 budaya dan religi, dengan hukumnya sendiri-sendiri. Masyarakat macam apa yang ingin kita diami dan ciptakan? Apa kita mau kembali pada kesukuan yang menghancurkan, atau tetap bersatu dengan setia pada nilai2 inti? Sisa bab ini akan menelaah isu2 demikian. Bab ini berutang banyak pada karya Mervyn Hiskett “Some to Mecca Turn to Pray, Islamic Values anda the Modern World (London, 1993)”, sebuah karya yang saya percaya harus dibaca oleh setiap politisi di barat atau oleh setiap orang yang khawatir dengan nilai2 sekular yang perlu dipertahankan. Buku Hiskett berisi tujuan yang sama dengan konteks karya inggris Arthur Schlesinger “The Disuniting of America, Reflections on a Multicultural Society (New York, 1992)”, yang menekankan bahaya ‘fragmentasi, pemisahan dan kesukuan.”
Muslim di Inggris dan Apa yang mereka inginkan
Di inggris disebutkan terdapat sekitar satu setengah juta muslim, mayoritas dari India. Kebanyakan, tidak semuanya, kesana karena kehendak sendiri, untuk mendapatkan kondisi ekonomi yang lebih baik. Lima belas tahun belakangan ini banyak muslim telah jelas menetapkan bahwa mereka tidak berniat utk berasimilasi kedalam masyarakat pribumi; malah, kata mereka masyarakat pribumilah yang harus berubah, menyetujui hak2 terpisah bagi mereka dan keistimewaan terpisah pula. Beberapa pembicara lihay mereka telah mengungkapkan apa yang mereka harap bisa capai. Dr. Zaki Badawi[1] Bekas direktur Islamic Cultural Centre, London, menulis: “Agama yang baru tidak bisa berdiam diri saja. Harus berkembang atau mengecil. Islam berusaha utk berkembang di Inggris. Islam adalah agama universal. Bertujuan menyampaikan pesan2nya keseluruh penjuru bumi. Berharap suatu hari seluruh umat manusia menjadi komunitas muslim, Ummat.”
Seorang Imam di Bradford, Inggris, menolak semua tuhan kecuali Allah dan menyatakan doktrin trinitas kristen sebagai “contoh yang salah, ekstrim dan absurd dari penuhanan manusia.” Dan Inggris katanya adalah “bangsa yang sakit dan terbelah,” hanya dg masuk islam saja yang bisa menyembuhkannya. Bagi dia “implementasi islam sebagai kode kehidupan yang lengkap tidak dapat dibatasi pada hubungan pribadi dan rumah belaka. Tapi harus diusahakan dan digapai dalam masyarakat keseluruhan.” Pemerintah harus dibereskan oleh apa yang pantas utk islam, bukan sekular. Setiap muslim harus “memperluas pengaruh islam didunia.” Kami perhatikan ada standar dobel yang melekat pada semua tuntutan muslim. Sementara muslim merasa bebas menghina kekristenan, mereka sendiri akan kebakaran jenggot, ngamuk dan bertindak mengerikan ketika islamnya sedikit saja disentuh kritik, islam yang harusnya “diterima tanpa banyak tanya sebagai wahyu tuhan oleh non muslim maupun muslim, dan ini harus dicerminkan dalam struktur dan tindakan negara serta masyarakat.” Sebuah laporan tentang sikap muslim akan pendidikan di Inggris, yang disiapkan oleh Islamic Academy, Cambridge dan Islamic Cultural Centre, London, membuat segalanya jelas bahwa Muslim tidak suka pendekatan sekular dalam pendidikan. Muslim ingin mempertahankan dasar2 nilai islam yang terancam oleh nilai2 komunitas pribumi, bahkan jika itu berarti melanggar hukum Inggris sekalipun. Seperti Hiskett perhatikan:
Tidak ada dinyatakan dalam pernyataan bersama para scholar islam tentang kemungkinan bahwa satu-satunya jalan utk menghindari gaya hidup yang “menghancurkan dasar2 nilai islam” adalah bukan utk berpindah pada gaya itu secara langsung; tapi lebih utk bertahan didalam daerah yang ditempati oleh ummat muslim dimana gaya2 hidupnya tetap sesuai dengan nilai2 ini. Pembicara muslim ketika dihadapkan pada pencampuran demikian akan berpendapat bahwa kebanyakan dari mereka – generasi kedua dan ketiga – telah lahir di Inggris dan dg demikian tidaklah masuk akal utk mengajukan solusi demikian. Sebaliknya sepertinya bisa ditarik kesimpulan, melihat dari pernyataan2 publik mereka, bahwa masyarakat penerima yang harus berubah utk menerima dan mengakomodasi mereka bukan sebaliknya. Pastinya inilah inti argumen yang telah meningkatkan opini publik inggris sejak para imigran muslim ini menjadi makin lihai berbicara utk menarik perhatian umum.[2]
Implikasi Tuntutan Muslim
Implikasi dari tuntutan para muslim pada Inggris secara luas sangatlah hebat. Kecuali kita tingkatkan kewaspadaan, pastilah kita akan mendapatkan masyarakat Inggris menurun secara moral dan semua kemajuan, baik sosial maupun moral, bisa dihempaskan kedalam pesta pora liberalisme multi budaya. Ambil saja contoh penyembelihan hewan. Di Inggris, rumah2 jagal secara ketat dikontrol oleh undang-undang Penyembelihan, hukum ini bertujuan mengurangi penderitaan hewan yang tidak perlu. Dalam karya Peter Singer[3] “Animal Liberation”,
Penyembelihan menurut aturan religi tidaklah sesuai dengan ketentuan bahwa hewan harus dibuat pingsan sebelum dibunuh. Kaum Muslim melarang memakan danging dari binatang yang ketika dijagal “tidak sehat dan tidak bergerak”. Dibuat pingsan sebelum disembelih menurut mereka termasuk dilarang, maka tidak bisa diterima aturan tsb. Gagasan ini mungkin muncul dari larangan memakan daging binatang yang sakit atau mati jaman dulu; dan ditafsirkan oleh kaum ortodoks jaman sekarang, tapi hukum ini juga melarang memakan daging binatang yang tidak sadarkan diri (pingsan) ketika dibunuh. Penyembelihan harus dilakukan memakai pisau yang tajam, pada urat nadi leher dan arteri karotid. Dulu metoda ini ditetapkan oleh hukum Yahudi agar terasa lebih ‘manusiawi (hewani tepatnya)’ bagi para hewan itu; tapi sekarang malah diubah oleh orang islam menjadi lebih biadab, contoh lain, pemakaian pistol pembius utk membuat pingsan hewan ini juga tidak bisa diterima.
Seperti ditunjukkan Singer, mustahil utk menuduh mereka yang menyerang ritual penyembelihan ala muslim ini adalah orang-orang ‘rasis’; orang tidak harus menjadi anti muslim utk menentang apa yang dilakukan terhadap hewan dalam nama agama.
Sudah waktunya bagi para pengikut agama utk mempertimbangkan apakah tafsir mereka dalam hal penyembelihan ini sungguh2 sejalur dengan semangat ‘kemurahan hati’ ajaran religius mereka. Sementara mereka yang tidak mau makan daging sembelihan cara barat punya alternatif sederhana lain: jangan makan daging sama sekali. Dalam mengajukan usul ini saya tidak bertanya orang2 muslim lebih jauh tapi cukup bertanya pada diri sendiri; karena itulah satu-satunya alasan bagi mereka utk menghindari penderitaan hewan, jangan makan daging bukannya makan daging hewan yang disembelih pakai pisau tajam.
Undang-undang Inggris tentang Penyembelihan Hewan ditetapkan karena alasan2 etis, dg kata lain metoda lain selain yang ditetapkan dianggap tidak bermoral. Dan jika menyerah pada tuntutan kaum muslim dengan metoda penjagalan mereka sama saja dengan melakukan tindakan yang sebelumnya kita anggap tidak bermoral. Kita melarang ketidak bermoralan karena rasa hormat kita akan agama lain. Kenapa kekejaman terhadap binatang tidak apa-apa, boleh-boleh saja jika menyangkut masalah agama.
Standar ganda yang sama juga ada dalam sikap kita terhadap muslimah di barat. Setelah Urusan Rushdie ini, beberapa organisasi didirikan para muslimah yg merasa terancam oleh kaum fundamentalis, contoh, Women Against Fundamentalism, Hannana Siddiqui pendirinya berkata: “Wanita dipaksa menikah, tak punya rumah dan tidak boleh bersekolah. Kaum multibudaya gagal ikut campur dan mendukung kaum wanita ini. Bagi mereka ini semua adalah bagian dari budaya dan agama yang harus ditoleransi. Dan kaum anti rasis membiarkan hal ini berlanjut karena mereka merasa jika melawan hal ini dianggap rasis.”[4]
Kaum multibudaya tidak mampu berpikir kritis dan malah mereka terasa lebih rasis dari orang rasis itu sendiri. Bukannya menentang ketidak adilan yg muncul dimana-mana, mereka malah menutup mata jika kekerasan kulit hitam terhadap kulit hitam lagi terjadi atau kekejaman antar muslim dengan muslim lagi terjadi. Banyak muslimah muda lari dari rumah, lari dari pernikahan paksa dan diburu oleh pemburu profesional utk dikembalikan pada keluarganya, kadang berujung tragis: kematian sigadis baik bunuh diri ataupun karena dihukum secara berlebihan dari kaum pria keluarganya. Polisi dan bahkan pekerja sosial menutup mata dalam nama multibudaya, dan dengan demikian muncullah kebutuhan akan organisasi2 wanita seperti Women Against Fundamentalism. Tragis sekali mengingat wanita2 inggris ini tidak merasa terlindungi oleh hukum inggris jika polisi dan pihak2 lain terus menutup mata.
Tak diragukan lagi, pendukung paling lihay bicara dari dunia islam adalah Dr. Kalim Siddiqui, direktur dari Muslim Institute, London. Dia adalah salah seorang pendiri dari Muslim Parliament of Great Britain, yang berutujuan utk “menentukan, membela dan mempromosikan kepentingan2 Muslim di Inggris.” Dr Siddiqui telah menulis banyak sekali buku dan artikel tentang islam dan misi2nya di barat serta dunia. Tema2 yang sering muncul adalah kedatangan kuasa islam global, kebesaran dari Ayatollah Khomeini; perlunya perjuangan memakai senjata; perlunya menghilangkan semua pengaruh peradaban barat dalam hal politik, ekonomi, sosial, budaya dan filosofi yang memasuki dunia islam; semua otoritas2 penting hanya milik Allah; dan kesatuan yang tak terpisahkan antara agama dan politik.
Bertebaran dalam tulisan2nya kebencian terhadap demokrasi, sains, filosofi, nasionalisme dan free will. Dia cuma punya rasa benci pada “orang2 yang berkompromi yang mencoba membuktikan bahwa islam itu sesuai dengan ambisi2 sekular dan kesukaan2 barat”[5] dan yang mencoba mendirikan kembali Iran yang liberal dan demokratik dengan sedikit ‘keislaman’ sebagai kosmetik belaka. Orang2 demikian “harus sadar bahwa pendidikan (barat) mereka telah memperalat mereka utk melayani sistem politik, sosial, ekonomi, budaya, administratif dan militer yang sebenarnya harus kita hancurkan.” Muslim harusnya sepakat “menyerang para intelektual demikian yang tergila-gila dengan barat dan timur dan mengembalikan ‘identitas sejati’.. dengan populasi lebih dari satu milyar dan sumber2 kekayaan tak terbatas, anda bisa mengalahkan semua kekuasaan itu.”
Seperti kata Hiskett:
Kasusnya sering seperti itu ketika mempertimbangkan Islam, orang harus menyerahkan kekuatan kepastian akan gagasan2nya. Tapi ketika gagasan2 ini diserukan didalam wilayah kita sendiri, dan sebagai pilihan dari institusi kita sendiri, orang harus bertanya: mana yang disuka? Sekular barat, institusi pluralis, yang tidak sempurna itu? Atau pilihan teokrasi Islam? Dan jika orang memutuskan salah satu, ia lagi2 harus bertanya: Berapa jauh pilihan islam itu membolehkan kita, sebelum menjadi kepatuhan mutlak? Dan pada titik ini, apa sih yang bisa kita lakukan? Terakhir, apakah politisi liberal, demokratik punya nyali moral dan nyali politis utk melakukan yang perlu dilakukan? Atau mereka menyerah, sedikit demi sedikit, poin demi poin, kepada tekanan terus menerus dan insisten dari Muslim “Parliament” dan lobby2 kepentingan muslim semacamnya?[6]
Multikulturalisme
Orang akan berpikir bahwa pendidikan harusnya memainkan peranan penting dalam hal asimilasi anak2 imigran kedalam budaya inggris mainstream. Tapi ada yang salah drastis dalam hal ini. Asimilasi tidak lagi digemari, tidak lagi jadi mode. Multikulturalisme dan Bilingualisme (lebih dari satu bahasa) telah menjadi mode sejak tahun 1970 (setidaknya). Pemikiran bahwa orang bisa menghasilkan seusap Pria Inggris atau Wanita Inggris dari kaum Immigran sekarang dituduh sebagai chauvinisme, rasisme, imperialisme budaya atau penjagalan budaya.
Tapi multikulturalisme didasarkan pada kesalahpahaman yg fundamental. Ada kepercayaan yang salah dan bernada sentimen bahwa semua budaya sebenarnya, jauh didalam, punya nilai2 yang sama; atau jika nilai2 ini berbeda, keduanya sama2 harus dan layak utk dihargai. Multikulturalisme, adalah turunan dari relativisme, tidak mampu mengkritik budaya itu sendiri, membuat penilaian antar budaya. Yang benar adalah bahwa tidak semua budaya punya nilai2 yang sama, dan tidak semua nilai2 itu layak utk dihargai. Tidak ada yang keramat dalam hal tradisi budaya atau adat kebiasaan – mereka bisa dan harus berubah dalam tekanan kritikan.
Lagipula, nilai2 sekular Barat belum lebih dari dua ratus tahun umurnya, bukankah kita dibenarkan utk menentangnya – dengan akal, argumen, kritik dan jalur legal, utk memastikan bahwa hukum dan konstitusi dari negara kita dihargai dan menghargai semua orang? Sudah menjadi kewajiban kita utk membela nilai2 dimana kita hidup. Hiskett menunjukkan bahwa “kepercayaan religius itu ditoleransi, sedangkan praktek2 dan institusi2 religius tidaklah harus selalu sejajar dengan kebebasan yang sama jika keduanya bertentangan dengan hukum dan konstitusi negara secara lebih luas.” Ini, sialnya, tidak diterima oleh banyak muslim, seperti telah kita lihat sebelumnya. Sementara dalam sebuah demokrasi, seorang muslim punya kebebasan beragama yang mutlak, menjadi suatu masalah yang lain lagi jika orang muslim itu menuntut hukuman mati bagi mereka yang tidak mau tetap dalam agama meraka; jika dia mencoba untuk:
Menuntut sensor versi dia sendiri pada seluruh domain publik; membatasi anak perempuannya, yang lahir dan dididik sebagai warganegara inggris lengkap dengan semua hak2 yang menjadi haknya, kedalam pernikahan paksa, kadang berujung pada Honor Killing; menyembelih hewan dengan cara yang oleh non muslim negaranya anggap tidak hewani; menuntut kurikulum sekolah menghilangkan teori evolusi dari pelajaran biologi karena anaknya ikut sekolah disana; berkeras meminta liburan utk memenuhi keperluan2 praktek2 agamanya dll[7].
Seperti kata Hiskett, “Di Inggris, kebutuhan utk pengontrolan lebih jauh penyebaran islam yang merugikan aliran sekular demokratik yang lebih besar, adalah keinginan politik dan kesadaran publik yang lebih besar. Orang didorong memajukan islam dalam kebijakan2 jangka pendek politisi2 non muslim yang membutuhkan suara2 (vote) dari para muslim.”[8] Hiskett lalu mengutip sebuah surat dari seorang calon kandidat dari Partai Buruh, diterbitkan dalam harian Inggris The Daily Telegraph, 31 Dec, 1990:
Sebagai sebuah bangsa kita telah memberi toleransi pada kaum fundamentalis Islam seperti yang kalian nyatakan (editorial, 28 dec), kami tidak akan memberikan pada kelompok agama apapun yang bertentangan dengan prinsip2 yang mendasari kebebasan kami. Pertanyaannya haruslah: Kenapa kita melakukan ini? Kesalahan bisa dilemparkan pada Pemerintah atau Partai Buruh di Parlemen dan Kepemimpinannya; yang awal mungkin berpikir secara dagang, yang belakangan berpikir utk terpilih kembali. Saya akan membiarkan kaum Konservatif berurusan dengan motif2 kepemimpinan partai mereka; sebagai seorang calon kandidat partai Buruh dalam pemilihan Umum yang terakhir kemarin, saya mengungkapkan rasa malu dan menyesal saya melihat cara partai Buruh bertindak utk mendapatkan suara dengan mengabaikan prinsip2 demokratis. Secara jumlah pemilih, dipercaya bahwa para fundamentalis islam bisa memanipulasi hasil sebuah pemilihan. Keputusan pastilah dibuat hingga kebebasan berpendapat ditempatkan nomor dua dari sukses kemenangan pemilihan; hingga jangan sampai menimbulkan kemarahan muslim fundamental tertentu menjadi lebih penting daripada nyawa Salman Rushdie. Kepemimpinan karenanya menjadi bungkam dan karenanya pula telah melacurkan prinsip2 dasar hidup dan kebebasan mereka demi suara. Sekarang kita, dinegara ini, berada dalam bahaya besar melihat Partai Buruh menjadi pelayan dari mereka yang, meski sangat kecil dalam jumlah pemilih, telah menempatkan diri mereka secara strategis dan cukup bengis utk menggunakan pengaruh mereka demi keuntungan mereka sendiri. Tak pernah terpikir saya bisa bekerja lebih dari 20 tahun untuk prinsip-prinsip pergerakan partai Buruh lalu menyaksikan kepemimpinan dan partai di parlemen mengabaikan sebagian prinsip2 itu tanpa malu2 utk mencapai sukses pemilihan yang sebentar saja.
Michael Knowles
Pemerintahan Konservatif, karena alasan perdagangan, juga sama mengkhianati prinsip2 demokratis. Demi melindungi kepentingan ekonominya di Saudi Arabia – dalam bentuk penjualan senjata yang berharga Jutaan Poundsterling dari perusahaan2 inggris – pemerintah inggris telah gagal mengkritik praktek2 tidak demokratis dari Saudi Arabia dan bahkan menyensor program2 televisi yang kritis terhadap Saudi Arabia. Sebagian elemen pemerintah Inggris juga mentoleransi kondisi yang memalukan bagi orang2 Kristen Inggris yang bekerja di Saudi Arabia, mereka dipaksa mempraktekkan agama mereka secara sembunyi2, ini sangat berkebalikan dengan kebebasan beragama bagi para muslim yang diberikan di Inggris, hingga mengijinkan mereka membangun mesjid, dengan dana dari Arab, dijantung kota London tanpa menghargai tradisi arsitektur sekelilingnya.
Perancis juga kompromi dengan para fundamentalis Iran karena alasan perdagangan, dengan menolak mengusut seorang Iran pembunuh, atau dengan menolak menyerahkan mereka pada negara lain tempat mereka melakukan kejahatan berhubungan dengan terbunuhnya para disiden Iran.
Orang bisa mengerti keraguan pemerintah Barat utk mengkritik negara2 muslim, karena alasan politik, tapi mestinya Barat harus lebih positif membela prinsip2 demokrasinya yang diancam oleh minoritas muslim didalam negaranya sendiri.
Pengkhianatan para Guru
Bagaimana bisa sekolah berhasil mengintegrasikan anak2 kaum immigran jika guru2nya menghabiskan banyak waktu mereka di kelas mengajarkan tentang perbedaan etnis, rasial dan agama dan mendorong anak2 serta orang tua mereka agar bertahan dalam sikap yang “bertentangan dengan kebutuhan2 dasar integrasi itu sendiri”? Tidak ada pemisahan mutlak negara dan agama di Inggris, dan hukum menuntut sekolah2 utk melakukan penyembahan (kebaktian) kolektif. Dibawah filosofi multikulturalisme, hal ini berujung pada dikenalkannya Islam dan propaganda islam kedalam ruang sekolah. Saya percaya hanya dengan memisahkan Gereja Inggris dari sekolah dan dikenalkannya sistem pendidikan sekular yang ketat akan bisa menghasilkan integrasi yang diharapkan.
Sekolah harusnya mempertahankan sikap agnotis bagi semua agama (bukan mereka yang meributkan pendekatan multikulturalis); dan tidak mengikuti satupun. Bukan hanya harus ada kebaktian bersama atau kolektif; pendidikan agama dalam jenis apapun – kristen, islam dan yang paling penting, multikulturalis – harus dibuang dari kurikulum sekolah non-denominasi (bukan jurusan agama) dan dari Kurikulum nasional. Tapi, sejarah Inggris dan Eropa harus diajarkan pada semua murid disemua sekolah; dan ini harus termasuk kisah sejarah yang komprehensif dan ketat tentang perkembangan budaya Judaeo-Kristen dan Celtic-Anglo-Saxon Kristen. Ini harus diajarkan dengan tujuan yang disengaja utk menolong anak2 mengidentifikasi budaya mereka dalam pengertian2 lebih luas dan lebih modern.
Sekolah2 sekluar tidak boleh, dalam kondisi apapun, membuat kelonggaran terhadap Islam, atau agama2 lain mengenai apa yang mereka ajarkan. Dg demikian sekolah2 ini akan terus mengajarkan seni, musik dan drama. Harus dijelaskan pada para orang tua, dari agama apapun, bahwa subjek2 demikian menjadi bagian dari kurikulum sekolah dan tidak bisa ada perkecualian.[9]
Pengkhianatan Para Intelektual
Saya memulai buku ini dengan Pengkhianatan Para Intelektual, dan akan menutupnya dengan itu pula. Di sini saya akan mengkonsentrasikan pada penegasan keyakinan nilai2 sekular Barat dari Para Intelektual Barat. Mencemarkan nama sendiri katanya adalah sifat buruk orang Inggris yang aneh; tapi dalam kenyataan malah jauh lebih lazim diseluruh dunia islam, lebih dari yang kita bayangkan. Dalam sebuah artikel yang pertama muncul di New York Times lalu belakangan di cetak kembali dalam The International Herald Tribune, 15 February 1994, filsuf Richard Rorty bertanya “Why Can’t America’s Left Be Patriotic?” (Kenapa Golongan Kiri Amerika tidak bisa bersikap lebih patriotik?). Golongan kiri (adalah golongan liberal atau tepatnya Partai Demokrat) bersikap kurang patriotik:
Atas nama “perbedaan politik,” mereka menolak rasa bangga terhadap negara yang mereka tinggali. Mereka tak mengakui gagasan ‘identitas nasional’ dan rasa bangga nasional.
Penolakan ini menjadi perbedaan antara Pluralisme Amerika Tradisional dengan Pergerakan baru yang disebut ‘Multikulturalisme’.
Pluralisme adalah usaha utk membuat Amerika menjadi apa yang disebut filsuf John Rawls sebagai “sebuah perserikatan sosial dari perserikatan2 sosial,’ sebuah komunitas didalam komunitas, masyarakat didalam masyarakat, sebuah bangsa dengan lebih banyak ruang bagi perbedaan dibanding utk yg lainnya.
Multikulturalisme berubah menjadi sebuah usaha utk mempertahankan komunitas ini berselisih satu dengan yang lain.
Identitas Nasional bersama adalah bagian penting dari kewarganegaraan. Kita boleh bangga pada negara kita dan tetap menghormati perbedaan2 budaya. Sebuah bangsa “tidak dapat memperbaiki dirinya jika tidak punya identitas, bangga atas identitas tsb, bercermin atas identitas tsb dan mencoba hidup berdasarkan identitas tsb.” Kita bisa merasa malu akan negara kita tapi rasa malu itu hanya pantas sepanjang kita mengenal diri kita akan negara kita, merasa bahwa ini adalah negara kita. Dalam hal apapun, saya yakin bahwa meski melihat semua kekurangan dari demokrasi liberal Barat, tetap hal itu jauh lebih baik daripada teokrasi islam yang otoritatif dan tanpa perasaan. Karl Popper membela demokrasi dan sekaligus juga meratapi kecenderungan intelektual barat akan kebencian diri sendiri:
Demokrasi punya kekurangan yang serius. Kepastiannya tidaklah lebih baik dari yang seharusnya. Tapi korupsi bisa muncul dalam pemerintahan jenis apapun. Dan saya pikir setiap orang yang mempelajari sejarah dengan serius akan setuju, dg pertimbangan masing2, bahwa demokrasi barat kita bukan saja sebagai satu-satunya masyarakat makmur dalam sejarah – ini penting, tapi bukan hal yg paling penting – yg paling penting adalah masyarakat bebas, yang paling toleran, yang paling sedikit menekan, yg kita kenal dalam sejarah2nya. Kita harus memerangi mereka yang membuat banyak anak2 muda tidak bahagia, yang berkata pada mereka kita ini hidup didunia yang mengerikan, kita hidup dalam neraka kapitalis. Yang benar adalah bahwa kita hidup dalam dunia yang luarbiasa, yang indah dan dalam sebuah masyarakat yang bebas dan terbuka. Tentu saja hal ini seperti mode, intelektual barat diharapkan dan malah dituntut utk juga mengatakan hal yang sebaliknya.[10]
Ditingkat Dunia, juga, kita harus punya keyakinan yang lebih dalam nilai2 kita. Judith Miller, menulis dalam Foreign Affairs, dengan maksud yang sama:
Pada akhirnya, kemenangan islam militan di Timur Tengah mungkin mengatakan hal yg sama tentang Barat seperti juga tentang Arab dan tentang kegagalan sistem2 mereka. Kaum Islamis, pada umumnya, bisa berkuasa jika tidak ada yang bersedia melawan mereka dinegerinya atau diluar negri. Dalam orde dunia manapun, orang2 Amerika jangan malu mengatakan mereka lebih suka pluralisme, toleransi dan perbedaan, dan bahwa mereka menolak pendapat Tuhan ada disalah satu pihak.. Militansi Islam mewakili kebalikannya Barat. Sementara kaum liberal bicara perlunya perbedaan dengan kesetaraan, kaum islamis melihat hal ini sebagai kelemahan. Liberalisme cenderung tidak mengajarkan para pendukungnya utk berjuang secara efektif. Yang dibutuhkan cukup sebuah istilah yang kontradiksi: militansi liberal, atau liberalisme militan yang tanpa ampun dan tidak malu-malu.[11]
Barat harus serius tentang demokrasi, dan harus menjauh dari kebijakan2 yang membahayakan prinsip2nya hanya demi keuntungan jangka pendek dinegerinya atau diluar negeri. Bangkitnya fasisme dan rasisme di Barat adalah bukti bahwa tidak semua orang di Barat terpikat pada demokrasi. Dg demikian, peperangan terakhir tidaklah harus antara Islam dan Barat, tapi antara mereka yang menghargai kebebasan dan mereka yang tidak.
T A M A T
[1] Hiskett, Mervyn. Some to Mecca Turn to Pray. St. Albans, 1993. Hal.235
[2] Ibid., hal.238-239
[3] Singer, Peter. Animal Liberation. London, 1976. Hal.153-156
[4] Dikutip dalam “New Statesman and Society”, 1 Mei 1992, hal.19
[5] Hiskett, Mervyn. Some to Mecca Turn to Pray. St. Albans, 1993. Hal.269
[6] Ibid., hal.273
[7] Ibid., hal.328
[8] Ibid., hal.331
[9] Ibid., hal.312
[10] Popper, K.R. “The Importance of Critical Discussion.” Dalam Free Inquiry, vol.2, no.1. Amherst, N.Y., 1981/1982.
[11] Miller dalam ‘Foreign Affairs’, Musim Semi tahun 1993, Vol.72, no.1, hal.43-56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar