Sabtu, 23 Oktober 2010

Geertz Wilders: Berpidato di Berlin

Para Sahabat yang kekasih,

Saya sangat senang berada di Berlin pada hari ini. Seperti yang saudara-saudara ketahui, undangan yang disampaikan kepada saya oleh sahabat saya René Stadtkewitz, telah mengakibatkan ia kehilangan keanggotaannya di kelompok CDU di Parlemen Berlin. Namun demikian, René tidak menyerah terhadap tekanan itu. Ia tidak mengkhianati keyakinan-keyakinannya. Pemecatannya tersebut telah mendorongnya untuk mendirikan sebuah partai politik baru. Saya mengucapkan selamat padanya dan mendoakannya agar mendapatkan semua yang terbaik. Seperti yang telah saudara-saudara dengar, beberapa minggu terakhir ini saya sangat sibuk. Pada awal minggu ini kami berhasil membentuk sebuah pemerintahan minoritas yang terdiri dari kaum liberal dan Kristen demokrat yang akan didukung oleh partai saya. Ini adalah sebuah peristiwa yang bersejarah bagi negara Belanda. Saya sangat bangga karena saya juga telah membantu hingga ini dapat terwujud. Pada saat ini juga konferensi partai Kristen Demokrat sedang memutuskan apakah mereka akan menyetujui koalisi ini atau tidak. Jika mereka menyetujuinya, kita akan dapat membangun kembali negara kita, memelihara identitas nasional kita dan memberikan masa depan yang lebih baik kepada anak-anak kita.



Walaupun jadwal kegiatan saya di Belanda sangat padat, saya bersikeras untuk datang ke Berlin, karena Jerman juga membutuhkan suatu pergerakan politis untuk membela identitas Jerman dan untuk melawan proses islamisasi terhadap Jerman. Kanselir Angela Merkel mengatakan bahwa proses islamisasi terhadap Jerman adalah hal yang tidak terelakkan. Ia menyampaikan pesan agar rakyat mempersiapkan diri menghadapi lebih banyak perubahan sebagai akibat dari imigrasi. Ia menginginkan agar orang-orang Jerman beradaptasi dengan situasi ini. Pemimpin Kristen Demokrat mengatakan: “Mesjid-mesjid akan menjadi suatu bagian yang integral dari kota-kota kita lebih dari sebelumnya”.

Sahabat-sahabatku, kita tidak boleh menerima hal yang tidak dapat diterima sebagai sesuatu yang tidak terelakkan tanpa berbuat apa-apa. Sudah menjadi kewajiban kita sebagai para politisi untuk memelihara bangsa kita demi anak-anak kita. Saya berharap pergerakan yang dilakukan René akan berhasil seperti halnya dengan partai saya yaitu Partij voor de Vrijheid, juga seperti Schweizerische Volkspartei dari Oskar Freysinger di Switzerland, juga seperti Dansk Folkeparti oleh Pia Kjaersgaard di Denmark, dan pergarakan-pergerakan serupa dimanapun.

Sahabat baik saya, Pia, baru-baru ini berbicara di Swedia atas undangan Sverigedemokraterna. Ia mengatakan: “Saya tidak datang untuk mencampuri politik dalam negeri Swedia karena itu adalah hal yang harus diperhatikan sendiri oleh rakyat Swedia. Tidak! Saya datang karena walaupun ada beberapa perbedaan dalam debat Swedia; dalam banyak hal itu mengingatkan saya akan debat Denmark 10-15 tahun yang lalu. Dan saya datang ke Swedia karena Swedia juga diperhatikan oleh Denmark. Kami tidak dapat duduk berpangku tangan dan menjadi saksi bisu terhadap perkembangan politik di Swedia”.

Hal yang sama berlaku juga bagi saya sebagai seorang Belanda yang menghormati Jerman. Saya berada disini karena Jerman penting bagi Belanda dan juga bagi seluruh dunia, dan karena kita tidak dapat mendirikan suatu Aliansi Kebebasan Internasional tanpa rekanan Jerman yang kuat.

Sahabat-sahabat yang kekasih, esok adalah Hari Penyatuan Jerman. Besok, tepatnya duapuluh tahun yang lalu, bangsa anda yang besar dipersatukan kembali setelah runtuhnya ideologi Komunis yang totalitarian. Hari Penyatuan Jerman adalah hari yang penting bagi seluruh Eropa. Jerman adalah negara demokrasi terbesar di Eropa. Jerman adalah pusat pembangkit ekonomi Eropa. Kesejahteraan dan kemakmuran Jerman adalah suatu keuntungan bagi kita semua, karena kesejahteraan dan kemakmuran Jerman adalah prasyarat bagi kesejahteraan dan kemakmuran Eropa.

Namun demikian, hari ini saya ada disini, untuk mengingatkan saudara-saudara akan bahaya perpecahan yang sedang mengintai. Identitas kebangsaan Jerman, demokrasinya dan kemakmuran ekonominya, sedang mendapat ancaman dari ideologi politis Islam. Pada tahun 1848, Karl Marx memulai Manifesto Komunisnya dengan kata-kata yang terkenal: “Ada yang tengah menghantui Eropa – hantu komunisme”. Hari ini, ada hantu lain yang sedang menghantui Eropa. Itulah hantu Islam. Bahaya ini juga bersifat politis. Islam bukanlah agama semata-mata, seperti yang dipikirkan oleh banyak orang: Islam terutama adalah sebuah ideologi politik. Pemahaman ini bukanlah sesuatu yang baru.

Saya mengutip dari buku terlaris dan serial televisi BBC The Triumph of the West yang ditulis oleh sejarawan Oxford yang terkenal J.M. Roberts pada tahun 1985: “Walaupun dengan sembrono kita berbicara mengenai Islam sebagai sebuah ‘agama’, kata tersebut memuat banyak kisah sejarah spesial Eropa Barat. Orang Muslim terutama adalah anggota dari sebuah komunitas, pengikut suatu jalan hidup tertentu, tercakup dalam sebuah sistem hukum tertentu, dan bukannya seseorang yang mempunyai pandangan-pandangan teologis tertentu”. Profesor dari wilayah Flander yaitu Urbain Vermeulen, yang juga adalah mantan Presiden European Union of Arabists and Islamicists, mengemukakan bahwa “Islam sejatinya adalah sebuah sistem legal, sebuah hukum”, dan bukanlah agama.

Ilmuwan politik Amerika Mark Alexander menulis bahwa “Salah-satu dari kesalahan-kesalahan terbesar kita adalah berpikir bahwa Islam hanyalah salah satu agama besar dunia. Kita tidak boleh berpikir demikian. Islam adalah politik atau tidak sama sekali, tapi sudah tentu Islam adalah politik dengan dimensi spiritual…yang tidak akan berhenti hingga Barat (dunia non-Islam) tidak ada lagi, hingga Barat (dunia non-Islam) telah…benar-benar diislamkan dengan baik”.

Ini bukanlah semata-mata merupakan pernyataan para penentang Islam. Para sarjana Islam juga mengatakan hal yang sama. Tidak ada lagi keraguan mengenai natur Islam bagi mereka yang telah membaca Qur’an, Sira dan Hadith. Abu Ala Maududi, pemikir Islam Pakistan yang berpengaruh pada abad ke-20 menulis, dan saya mengutipnya, menekankan bahwa ini bukanlah perkataan saya namun orang-orang yang yang merupakan pemimpin sarjana Islam – “Islam bukanlah semata-mata suatu pengakuan keyakinan religius [tetapi] sebuah ideologi yang revolusioner, dan jihad berkaitan dengan perjuangan revolusioner itu…untuk menghancurkan semua negara dan pemerintahan dimanapun di muka bumi ini, yang menentang ideologi dan program Islam”.

Ali Sina, seorang Iran yang meninggalkan Islam yang tinggal di Kanada, mengemukakan bahwa ada satu aturan emas yang terletak di dalam jantung setiap agama – yaitu agar kita memperlakukan orang lain seperti halnya kita ingin diperlakukan oleh mereka. Dalam Islam, aturan ini hanya berlaku bagi sesama orang beriman, tapi tidak terhadap orang kafir. Ali Sina mengatakan, “Alasan mengapa saya menentang Islam bukan karena Islam adalah sebuah agama, tetapi karena Islam adalah sebuah ideologi politik penjajahan dan dominasi yang berkedok agama. Karena Islam tidak mematuhi Aturan Emas, Islam mempesona orang-orang yang kejam”.

Studi mendalam mengenai permulaan sejarah Islam dengan jelas menyatakan bahwa tujuan Muhammad pertama-tama adalah menaklukkan kaumnya sendiri, orang-orang Arab, dan menyatukan mereka di bawah pemerintahannya, dan kemudian menaklukkan dan memerintah dunia. Itulah tujuan aslinya; jelas sekali itu bersifat politis dan didukung oleh kekuatan militer. “Saya diperintahkan untuk memerangi semua orang hingga mereka mengatakan ‘Tidak ada Tuhan selain Allah’”, inilah yang dikatakan oleh Muhammad. Ia melakukan hal itu sesuai dengan perintah Qur’an dalam Sura 8:39 yaitu: “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah”.

Berdasarkan mitologi, Muhammad mendirikan Islam di Mekkah setelah Malaikat Jibril mengunjunginya untuk pertama kalinya pada tahun 610. Pada 12 tahun pertama Islam, ketika Islam masih bersifat religius dan tidak politis, Islam tidak mengalami kesuksesan. Pada tahun 622, Muhammad pindah ke Yathrib, sebuah oasis yang didiami oleh banyak orang Yahudi, dengan sekelompok pengikutnya yang berjumlah 150 orang. Disana ia mendirikan mesjid yang pertama dicatat oleh sejarah, mengambil alih kekuasaan politik, menamai Yathrib dengan Medina, yang berarti “Kota Nabi”, dan memulai karirnya sebagai pemimpin politik dan militer yang menaklukkan seluruh Arabia. Dengan demikian, penanggalan Islam dimulai dengan hijrah, yaitu perpindahan ke Medina – saat Islam menjadi sebuah pergerakan politik.

Setelah kematian Muhammad, berdasarkan perkataaan dan perbuatannya, Islam mengembangkan Syariah, yang merupakan sistem legal yang membenarkan pemerintahan represif atas dunia ini dengan hak ilahi – termasuk aturan-aturan untuk jihad guna memiliki kontrol absolut atas orang-orang beriman dan juga orang-orang tidak beriman. Syariah adalah hukum di Arab Saudi dan Iran, dan juga di negara-negara Islam lainnya. Syariah juga merupakan sentral bagi Organization of the Islamic Conference (OIC), yang dalam artikel 24 dari Deklarasi Kairo Mengenai Hak Azasi manusia Dalam Islam, memproklamirkan bahwa “semua hak dan kebebasan harus tunduk di bawah Syariah Islam”. OIC bukanlah sebuah institusi religius; tapi sebuah lembaga politik. OIC menetapkan blok voting terbesar di PBB dan menulis laporan-laporan mengenai apa yang disebut sebagai “Islamofobia” di negara-negara Barat yang menuduh kita melakukan pelanggaran hak azasi manusia. Dalam istilah alkitabiah: mereka mencari selumbar di mata kita, namun menyangkali balok di mata mereka sendiri.

Di bawah hukum Syariah, orang-orang di daerah-daerah yang telah ditaklukkan tidak mempunyai hak-hak legal, bahkan tidak mempunyai hak untuk hidup dan memiliki properti, kecuali mereka memeluk Islam.

Sebelum saya melanjutkan, untuk menghindari kesalahpahaman, saya ingin menekankan bahwa saya sedang berbicara mengenai Islam, bukan mengenai orang Muslim. saya selalu membuat pembedaan yang jelas antara orang dengan ideologi, antara orang Muslim dan Islam. Ada banyak orang Muslim yang moderat, tetapi ideologi politik Islam tidaklah moderat dan mempunyai ambisi global.

Ideologi politik ini bertujuan untuk memberlakukan hukum Islam atau Syariah terhadap seluruh dunia. Cara untuk mencapai hal ini adalah melalui jihad. Berita baiknya adalah jutaan orang Muslim di seluruh dunia – termasuk di Jerman dan Belanda – tidak mengikuti peraturan-peraturan Syariah, apalagi terlibat dalam jihad. Namun demikian, kabar buruknya, mereka yang terlibat siap untuk menggunakan semua sarana yang ada untuk mencapai tujuan ideologis dan revolusioner mereka.

Pada tahun 1954, dalam esainya mengenai Komunisme dan Islam, Profesor Bernard Lewis berbicara mengenai “tradisi politik Islam yang totaliter”. Profesor Lewis mengatakan bahwa “Secara tradisional Islam membagi dunia menjadi Rumah Islam dan Rumah Perang. Hal ini jelas sekali paralel dengan pandangan Komunisme mengenai hal-hal dunia…fanatisme agresif yang dimiliki orang beriman sama saja (antara kedua paham itu)”.

Ilmuwan politik Amerika Mark Alexander menyatakan bahwa natur Islam hanya mempunyai sedikit perbedaan – dan hanya dalam detil dan bukan gaya – dengan ideologi-ideologi totaliter yang menjijikkan seperti Sosialisme Nasional dan Komunisme. Dari ketiga ideologi tersebut, ia mendaftarkan beberapa karakteristik berikut ini:

  1. Mereka menggunakan pembersihan-pembersihan politis untuk “membersihkan” masyarakat dari apa yang mereka anggap sebagai hal yang tidak diinginkan.
  2. Mereka hanya mentolerir satu partai politik. Islam memberi ruang untuk banyak partai, namun bersikeras bahwa semua partai harus bersifat islami;
  3. Mereka membujuk dengan paksa agar orang mengikuti jalan mereka;
  4. Mereka benar-benar menghancurkan pembedaan liberal antara wilayah penilaian pribadi dengan kendali publik;
  5. Mereka mengubah sistem pendidikan menjadi sarana untuk mencapai tujuan indoktrinasi universal;
  6. Mereka menetapkan peraturan-peraturan untuk seni, literatur, sains dan agama;
  7. Mereka menindas orang-orang yang diberikan status sebagai warga negara kelas dua;
  8. Mereka memaksakan sebuah kerangka pikir yang berdasarkan fanatisme. Penyesuaian untuk hal itu dilakukan dengan perang dan dominasi;
  9. Mereka suka menyiksa para lawan mereka dan memandang penghancuran yang mereka lakukan sebagai tindakan sementara yang dilakukan untuk mencapai tujuan dan suatu tanda kelemahan lawan;
  10. Mereka memandang politik sebagai ekspresi kekuasaan;
  11. Mereka anti-Semitis.

Ada satu lagi paralel yang mengejutkan, tetapi ini bukanlah suatu karakteristik dari ketiga ideologi politik tersebut di atas, tetapi milik Barat, yaitu ketidakmampuan Barat untuk melihat datangnya bahaya. Prasyarat untuk memahami bahaya politik adalah kesediaan untuk melihat kebenaran, walaupun hal itu tidak menyenangkan. Sayangnya, para politisi modern Barat nampaknya telah kehilangan kemampuan ini. Ketidakmampuan kita mengakibatkan kita menolak konklusi-konklusi logis dan historis yang harus ditarik dari fakta-fakta, walaupun kita dapat, dan sudah seharusnya mengetahuinya dengan lebih baik. Apa yang salah dengan orang Barat modern sehingga berulangkali kita melakukan kesalahan yang sama?

Tidak ada tempat yang lebih baik untuk merenungkan pertanyaan ini selain dari disini, di Berlin, yang dulunya adalah ibukota kekaisaran jahat Nazi Jerman dan yang adalah sebuah kota yang pernah dipenjarakan oleh apa yang disebut sebagai Republik “Demokratik” Jerman selama lebih dari 40 tahun.

Ketika para penduduk Eropa Timur menolak Komunisme pada tahun 1989, mereka diinspirasikan oleh orang-orang yang menjadi oposan pemerintah seperti Aleksandr Solzhenitsyn, Václav Havel, Vladimir Bukovsky, dan lain-lain, yang mengatakan pada mereka bahwa setiap orang mempunyai hak, tapi juga mempunyai kewajiban, untuk “hidup dalam kebenaran”. Kebebasan membutuhkan kewaspadaan kekal; demikian pula dengan kebenaran. Namun demikian, Solzhenitsyn menambahkan, “Kebenaran kadang terasa manis; kadangkala juga pahit”. Mari kita menghadapi kebenaran yang pahit, yaitu: kita telah kehilangan kemampuan kita untuk melihat bahaya dan memahami kebenaran karena kita tidak lagi menghargai kebebasan.

Para politisi dari hampir semua politisi yang ada hari ini memfasilitasi islamisasi. Mereka mendukung semua sekolah Islam yang baru berdiri, bank islami/syariah, pengadilan islami/syariah. Mereka memandang Islam setara dengan kebudayaan kita. Islam atau kebebasan? Hal itu tidaklah terlalu berarti bagi mereka. Tetapi itu penting bagi kita. Semua elit universitas yang telah ada, gereja, perkumpulan-perkumpulan dagang, media, politisi, mendapatkan kebebasannya dengan menempuh resiko. Mereka berbicara mengenai kesetaraan, namun sangatlah mengherankan melihat mereka gagal untuk melihat betapa di dalam Islam kaum wanita mempunyai hak yang lebih sedikit daripada kaum pria dan orang-orang kafir mempunyai hak yang lebih sedikit daripada para pemeluk Islam.

Apakah kita akan mengulang kembali kesalahan fatal dari Republik Weimar? Apakah kita tunduk kepada Islam karena komitmen kita kepada kebebasan sesungguhnya telah mati? Tidak, itu tidak akan pernah terjadi. Kita tidak seperti Ibu Merkel. Kita tidak menerima islamisasi sebagai sesuatu yang tidak terelakkan. Kita harus tetap menjaga kebebasan agar kebebasan itu tetap hidup. Dan, hingga pada tingkat dimana kita telah kehilangan kebebasan kita, maka kita harus mengklaimnya kembali melalui pemilu demokratis. Itulah sebabnya mengapa kita membutuhkan partai-partai politik yang membela kebebasan. Untuk mendukung partai-partai semacam itu, saya telah mendirikan International Freedom Alliance.

Seperti yang saudara-saudara ketahui, saya sedang diadili di Belanda. Pada hari Senin, saya harus pergi lagi ke pengadilan, dan saya akan banyak menghabiskan beberapa bulan ke depan disana. Saya diajukan ke pengadilan karena opini saya mengenai Islam dan karena saya telah menyuarakan opini-opini saya ini dalam pidato-pidato, artikel-artikel dalam dalam film dokumenter yang saya buat yang berjudul Fitna. Saya senantiasa hidup dalam penjagaan ketat polisi karena kaum ekstrimis Islam ingin membunuh saya, dan saya diadili karena para petinggi Belanda – kebanyakan diantara mereka adalah non Muslim – ingin membungkam saya.

Saya diseret ke pengadilan karena di negara saya kebebasan tidak lagi dapat dinikmati sepenuhnya. Tidak seperti Amerika, kami tidak memiliki First Amandemen yang menjamin orang untuk bebas mengekspresikan opini mereka dan mengadakan debat publik karena melakukan hal itu. Tidak seperti Amerika, negara di Eropa, dan juga Uni Eropa, menjelaskan bagaimana penduduknya – termasuk para politisi yang dipilih secara demokratis seperti halnya saya juga – harus berpikir dan perkatakan apa yang diijinkan untuk kami katakan.

Salah satu hal yang tidak boleh lagi kami katakan adalah bahwa budaya kami lebih superior daripada budaya lain. Ini dilihat sebagai pernyataan yang diskriminatif – bahkan sebuah pernyataan yang mengandung kebencian. Setiap hari kami diindoktrinasi, di sekolah-sekolah, dan melalui media, dengan pesan bahwa semua budaya setara dan bahwa jika ada budaya yang lebih buruk dari semua budaya lainnya, maka pasti itu adalah kebudayaan kami. Kami dicekoki dengan perasaan bersalah dan malu akan identitas kami sendiri dan apa yang menjadi milik kami. Kami didorong untuk menghormati segala sesuatu, kecuali diri kami sendiri. Itulah pesan dari golongan Kiri dan para pejabat pemerintah yang benar secara politik. Mereka ingin agar kita merasa malu akan identitas kita sendiri sehingga kita menolak untuk memperjuangkannya.

Obsesi menghancurkan dari para elit politik dan budaya kami dengan kesalahan Barat, membangkitkan pandangan Islam terhadap kita. Qur’an berkata bahwa orang non Muslim adalah kuffar (bentuk jamak dari kafir), yang secara harafiah berarti “orang-orang yang menolak” atau “orang-orang yang tidak bersyukur”. Oleh karena itu, orang-orang kafir itu “bersalah”. Islam mengajarkan bahwa dalam negara natural kita, kita semua telah dilahirkan sebagai orang-orang beriman. Islam mengajarkan bahwa jika pada hari ini kita bukanlah orang-orang yang beriman, maka ini adalah kesalahan kita atau karena kesalahan leluhur kita. Akibatnya, kita senantiasa adalah kafir – bersalah – karena baik kita maupun leluhur kita adalah orang-orang yang murtad. Dan oleh karena itu, menurut beberapa orang, kita layak untuk ditundukkan.

Kaum intelektual Kiri kontemporer kita sudah buta terhadap bahaya Islam. Mantan oposan Soviet Vladimir Bukowsky berpendapat bahwa setelah kejatuhan Komunis, Barat gagal mengekspos orang-orang yang terkait dengan paham Komunisme dengan kebijakan yang tepat, untuk memperbaiki hubungan-hubungan, meredakan ketegangan internasional, hidup berdampingan dengan damai. Ia mengemukakan bahwa Perang Dingin adalah “Perang yang tidak pernah kita menangkan. Kita bahkan tidak pernah berperang di dalamnya…banyak kali Barat terlibat dalam kebijakan untuk menyenangkan blok Soviet – dan orang-orang yang berusaha menyenangkan orang lain tidak pernah memenangkan perang”.

Islam adalah Komunisme masa kini. Tetapi, karena kegagalan kita untuk berterus-terang dengan Komunisme, kita tidak mampu menghadapinya, terjebak seperti yang pernah kita alami dengan kebiasaan lama Komunisme yaitu penipuan dan bibir dolak-dalik yang biasa menghantui negara-negara Timur dan yang kini menghantui kita semua. Oleh karena kegagalan ini, golongan Kiri tersebut, yang dulunya menutup mata terhadap Komunisme, kini pun menutup mata terhadap Islam. Mereka menggunakan argumen yang serupa untuk mendapatkan keadaan damai antara dua negara yang sebelumnya saling bermusuhan, memperbaiki hubungan-hubungan, dan menyenangkan pihak lain, sama seperti sebelumnya. Mereka berargumen bahwa musuh kita cinta damai, sama seperti kita, bahwa jika kita berusaha untuk memahami mereka, maka mereka pun akan berusaha memahami kita. Bahwa ia hanya ingin dihargai dan jika kita menghormatinya maka iapun akan menghormati kita. Kita bahkan mendengar pengulangan mantra kuno ekuivalensi moral. Mereka terbiasa mengatakan bahwa “imperialisme” Barat sama jahatnya dengan imperialisme Soviet; kini mereka mengatakan bahwa “imperialisme” Barat sama jahatnya dengan terorisme Islam.

Dalam pidato saya di dekat Ground Zero di New York pada 11 September, saya menekankan bahwa kita harus berhenti mengatakan “Salahkan Barat, salahkan Amerika” – ini adalah permainan juru bicara Islam yang berusaha menipu kita. Dan kita harus berhenti memainkan permainan ini pada diri kita sendiri. Saya mempunyai pesan yang sama untuk anda. Adalah suatu penghinaan bila mengatakan bahwa kita bersalah dan kita pantas menerima apa yang terjadi pada kita. Tidak selayaknya kita menjadi orang asing di tanah kita sendiri. Kita tidak boleh menerima penghinaan seperti ini. Pertama-tama, peradaban Barat adalah peradaban yang paling bebas dan paling jaya di bumi, itulah sebabnya mengapa banyak imigran pindah kesini, dan bukannya orang-orang Barat yang pindah kesana. Dan kedua, apa yang disebut sebagai kesalahan kolektif itu tidak ada sama sekali. Individu-individu yang bebas adalah agen-agen moral yang bebas, dan yang bertanggung-jawab atas perbuatan mereka sendiri.

Saya sangat senang berada di Berlin hari ini untuk menyampaikan pesan ini yang adalah pesan yang sangat penting, terutama di Jerman. Apapun yang terjadi di negara anda di masa lalu, generasi yang ada sekarang tidak bertanggung-jawab atas hal itu. Apapun yang terjadi di masa lalu, tidak dapat menjadi alasan untuk menghukum orang-orang Jerman pada masa kini. Namun juga tidak dapat menjadi alasan bagi anda untuk menolak memperjuangkan identitas anda sendiri. Satu-satunya tanggung-jawab anda adalah untuk menghindar dari kesalahan masa lalu. Sudah menjadi tugas anda untuk berdiri bersama orang-orang yang diancam oleh ideologi Islam, seperti Negara Israel dan rekan-rekan seperjuangan anda yang Yahudi. Republik Weimar menolak untuk memperjuangkan kebebasan dan telah ditundukkan oleh ideologi totaliter, dengan konsekuensi-konsekuensi menghancurkan bagi Jerman, Eropa dan dunia. Jangan gagal untuk memperjuangkan kebebasan anda hari ini.

Saya senang berada di tengah-tengah anda sekalian hari ini karena nampaknya 20 tahun setelah penyatuan Jerman kembali, generasi yang baru tidak lagi merasa bersalah karena menjadi orang Jerman. Debat yang sangat intens yang terjadi baru-baru ini mengenai buku terbaru Thilo Sarrazin adalah sebuah indikasi akan fakta bahwa Jerman sedang berdamai dengan dirinya sendiri.

Saya sendiri belum membaca buku Dr. Sarrazin, tetapi saya mengerti bahwa, saat para pejabat pemerintah sedang berkuasa yang benar secara politis hampir-hampir serempak bersikap kritis terhadap tesisnya sehingga ia kehilangan pekerjaannya, sejumlah besar orang Jerman mengakui bahwa Dr. Sarrazin sedang mengemukakan isu-isu yang sangat penting dan mendesak. “Orang Jerman sedang menghapus dirinya sendiri”, Sarrazin mengingatkan, dan ia menghimbau orang Jerman untuk menghentikan proses ini. Dampak yang dahsyat dari bukunya mengindikasikan bahwa banyak orang Jerman yang merasakan hal yang sama. Orang Jerman tidak ingin agar Jerman dihapuskan, walaupun mereka telah ditundukkan oleh semua indoktirnasi politik. Orang Jerman tidak lagi merasa malu untuk menunjukkan kebanggaan nasional mereka.

Dalam masa-masa sulit ini, dimana identitas nasional kita sedang terancam, kita harus berhenti merasa bersalah akan siapa diri kita. Kita bukanlah orang-orang kafir, kita tidak bersalah. Sama seperti bangsa-bangsa lain, orang-orang Jerman berhak untuk tetap menjadi orang Jerman. Orang Jerman tidak harus menjadi orang Perancis, orang Belanda, orang Amerika, ataupun orang Turki. Mereka harus tetap menjadi orang Jerman. Ketika Perdana Menteri Turki Erdogan mengunjungi negara anda pada tahun 2008, ia berkata kepada orang-orang Turki yang tinggal disini bahwa mereka harus tetap menjadi orang Turki. Secara harafiah ia mengatakan bahwa “asimilasi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan”. Erdogan mungkin saja benar jika ia berkata demikian mengenai orang-orang Turki di Turki. Namun demikian, Jerman adalah negeri orang-orang Jerman. Oleh karena itu, orang-orang Jerman berhak menuntut mereka yang datang untuk tinggal di Jerman supaya berasimilasi; mereka berhak – bahkan mereka mempunyai kewajiban pada anak-anak mereka – untuk menuntut para pendatang baru itu untuk menghormati identitas bangsa Jerman dan hak orang Jerman untuk memelihara identitas mereka.

Kita harus menyadari bahwa Islam berkembang dengan dua cara. Oleh karena Islam bukanlah agama, berpaling pada Islam hanyalah sebuah fenomena marjinal. Menurut sejarah, Islam berkembang baik melalui penaklukkan militer atau dengan menggunakan senjata hijrah, yaitu imigrasi. Muhammad menaklukkan Medina melalui imigrasi. Hijrah juga kita alami hari ini. Islamisasi Eropa terus berlanjut sepanjang waktu. Tetapi Barat tidak mempunyai strategi untuk menghadapi ideologi Islam, karena kaum elit kita mengatakan bahwa kita harus beradaptasi dengan mereka dan bukan sebaliknya.

Ada pelajaran yang dapat kita pelajari berkenaan dengan hal ini dari Amerika, negara yang paling bebas di dunia. Orang-orang Amerika bangga akan bangsa mereka, pencapaian-pencapaian dan bendera mereka. Kita juga harus bangga pada bangsa kita. Amerika Serikat senantiasa merupakan sebuah bangsa imigran. Presiden Amerika Serikat Theodore Roosevelt mengungkapkan dengan jelas kewajiban para imigran. Inilah apa yang dikatakannya: “Kita harus bersikap tegas, yaitu jika para imigran yang datang kemari mempunyai niat baik untuk menjadi orang Amerika dan mengasimilasikan dirinya pada kita, ia akan diperlakukan dengan kesetaraan yang sama dengan orang lain…Namun ini diberlakukan pada orang yang benar-benar menjadi orang Amerika, dan hanya menjadi orang Amerika…Disini tidak ada pemisahan-pemisahan…Kita tidak mempunyai tempat selain untuk kesetiaan semata-mata dan itu adalah kesetiaan kepada bangsa Amerika”.

Tidaklah bergantung kepada saya untuk mendefinisikan hal-hal apa yang tercakup dalam identitas nasional Jerman. Semua itu terserah kepada anda sekalian. Namun demikian saya mengetahui bahwa kebudayaan Jerman, seperti halnya kebudayaan negara-negara tetangganya seperti negara saya sendiri, berakar dalam nilai-nilai Yudeo-Kristen dan humanisme. Semua politisi yang bertanggung-jawab mempunyai kewajiban politik untuk memelihara nilai-nilai ini terhadap ideologi yang mengancamnya. Jerman yang penuh dengan mesjid dan para wanita yang berkerudung bukanlah Jerman milik Goethe, Schiller dan Heine, Bach dan Mendelssohn. Itu akan menjadi kekalahan bagi kita semua. Penting sekali bagi anda untuk menghargai dan memelihara akar-akar anda sebagai sebuah bangsa. Jika tidak demikian, anda tidak akan dapat mengamankan identitas anda; anda akan dihapuskan sebagai sebuah bangsa, dan anda akan kehilangan kebebasan anda. Dan Eropa akan kehilangan kebebasannya bersama dengan anda.

Sahabat-sahabatku, ketika Ronald Reagan datang ke Berlin yang terpecah 23 tahun yang lalu, ia mengucapakan perkataan yang bersejarah, “Mister Gorbachev, runtuhkanlah dinding ini”. Presiden Reagan bukanlah orang yang ingin menyenangkan orang lain, tetapi orang yang menyampaikan kebenaran karena ia mengasihi kebebasan. Hari ini, kita juga harus meruntuhkan sebuah dinding. Bukan dinding dari beton, tetapi dinding penyangkalan dan ketidakpedulian mengenai natur Islam. The International Freedom Alliance bertujuan untuk mengkoordinasi dan menstimulasi usaha-usaha ini.

Oleh karena kita membicarakan kebenaran, para pemilih telah memberikan partai saya, yaitu Partij voor de Vrijheid, dan partai-partai lainnya seperti Dansk Folkeparti dan Schweizerische Volkspartei, kuasa untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik, apakah itu menjadi oposisi atau dalam pemerintahan atau dengan mendukung suatu pemerintahan minoritas – seperti yang ingin kami lakukan di Belanda. Presiden Reagan menunjukkan bahwa dengan menyuarakan kebenaran orang dapat mengubah jalan sejarah. Ia menunjukkan bahwa tidak perlu berputus asa. Jangan pernah! Kerjakan saja tugas anda. Jangan takut. Suarakan kebenaran. Bela kebebasan. Bersama-sama kita dapat memelihara kebebasan, bersama-sama kita harus memelihara kebebasan, dan bersama-sama, para sahabatku, kita akan dapat memelihara kebebasan.

Terima-kasih.

http://www.jihadwatch.org/2010/10/geert-wilders-speech-in-berlin-yesterday.html

(Diposkan Oleh: JAAN in MyBlog pada tanggal 3 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar