Jumat, 25 September 2009

Bab 8 - Imperialisme Arab, Kolonialisme Islam

Saya harus mengingatkan diri saya bahwa saya sedang berjalan didunia muslim NON-ARAB. Islam dimulai sebagai sebuah agama Arab; lalu berkembang menjadi sebuah kerajaan Arab.
Di Iran, Pakistan, Malaysia, Indonesia – negara2 tempat saya berkelana – saya berada diantara orang2 yang memeluk sebuah agama yang sebelumnya asing bagi mereka. Saya berjalan diantara orang2 yang harus menyesuaikan diri dua kali – pertama, penyesuaian terhadap kerajaan2 Eropa di abad 19 dan 20an; dan penyesuaian kedua kedalam iman bangsa Arab. Bisa dibilang bahwa saya berada diantara orang2 yang dikolonisasi dua kali, disingkirkan keberadaan dirinya dua kali.
V.S. Naipaul, New York Review of Books (31 Januari 1991)


Buka Bab Pengenalan dalam buku2 modern tentang islam yg mana saja dan kemungkinan besar anda akan temukan bahwa bab itu dimulai dengan puja-puji terhadap Arab dan islam dari orang2 yang ditaklukan arab islam. Orang2 yg dalam periode sangat singkat, yg merupakan penghuni hampir setengah populasi dunia beradab, orang2 yang dulu pemilik dan pendiri kerajaan2 mulai dari pinggiran sungai Indus di timur hingga pantai Atlantis di daerah barat.

Buku itu lalu akan menceritakan secara positif kejayaan mereka ketika muslim berkuasa atas budaya dan bangsa2 yang berbeda2. Sulit dibayangkan seorang sejarawan inggris sejaman akan mampu lolos dari kecaman jika menulis puja-puji serupa mengenai kerajaan inggris dijaman ketika sebagian besar peta dunia masih berwarnakan bendera inggris. Sementara kolonialisme dan imperialisme oleh Eropa (dua-duanya sekarang masuk istilah yang jelek) disalahkan akan segala penderitaan dunia dan segala sesuatu yang berbau Eropa mendatangkan rasa malu, tapi Imperialisme Arab berdiri tegak sebagai sesuatu yang muslim banggakan, sesuatu yang malah menurut mereka harus diberi tepuk tangan dan kekaguman.

Meski orang2 Eropa terus menerus dihukum karena telah memaksakan nilai2, budaya dan bahasa mereka dinegara2 dunia ketiga, tak ada seorangpun yang berani unjuk tangan akan kolonisasi islam atas tanah dan peradaban yang sebelumnya maju dan berumur tua, dan itu masih terus berlangsung hingga sekarang. Kolonialisme Islam secara permanen menginjak-nginjak dan menghancurkan banyak budaya. Meminjam perkataan Michael Cook [1]

“Penaklukan Arab secara cepat menghancurkan satu kerajaan lalu secara permanen merenggut wilayah besar kerajaan lain. Ini adalah malapetaka yang mengerikan”; atau seperti kata Cook dan Crone katakan, “penaklukan2 itu dicapai dengan ‘ongkos budaya yang luarbiasa mahalnya.” [2]

Cook dan Crone menjelaskan proses islamisasi ini dalam buku yang telah disinggung sebelumnya. Speros Vryonis dalam karyanya “The Decline of Medieval Hellenism in Asia Minor and the Process of Islamization from the Eleventh through the Fifteenth Century” (Kemerosotan Hellenisme Abad pertengahan di Asia Kecil dan Proses islamisasi dari abad 11 hingga abad 15) menjelaskan bagaimana gaya hidup Kristen dan Hellenis, dengan biara2 dan keuskupan yang luar biasa, dihancurkan oleh serangan Turki tahun 1060 dan 1070 – banyak orang melarikan diri, tertangkap, dibantai atau diperbudak. Vryonis menjelaskan kemerosotan yang sama di abad berikutnya dengan kehancuran dari Kekaisaran Byzantine.[3]

Sangat ironis dan menyedihkan bahwa, di Aljazair contohnya, semua pendidikan dalam bahasa Perancis dihentikan karena bahasa Perancis dianggap sebagai simbol kolonialisme Perancis, sebagai sebuah kehadiran kekuasaan/kerajaan yang tidak sah. Menyedihkannya karena hal itu memotong seluruh generasi dari budaya warisan yang sangat kaya akan peradaban, tapi juga ironis karena bahasa Arab sendiri dipaksakan menjadi bahasa mereka. Imperialisme Arab tidak hanya memaksakan sebuah bahasa yang sama sekali baru pada orang2 yang lidahnya asli berbahasa Berber, bukan Arabik, tapi bahkan mereka sendiri percaya bahwa mereka secara etnis termasuk orang Arab – yg padahal bukan – dan mencuci otak mereka utk menerima sebuah agama yang sepenuhnya asing akan tradisi religius mereka sendiri. Menyembah kearah Arab lima kali sehari pastilah sebuah perlambang mutakhir dari imperialisme budaya ini.

Muslim benci akan orang yg beragama lain dan menganggap mereka sebagai akibat nilai2 barat yang asing, tapi mereka tidak bisa berkaca pada diri mereka, yang sebenarnya adalah ‘pengkhianat’ budaya nenek moyang mereka sendiri. Di India, contohnya, muslim2 sekarang ini adalah keturunan dari mualaf asal Hindu, di Iran, mualaf asal Zoroastrian, di Siria, mualaf asal kristen. Sejumlah besar muslim diseluruh dunia telah terbujuk untuk menerima sebuah agama yang aslinya berasal dari tempat yang ribuan km jauhnya, mereka membaca sebuah kitab dalam bahasa yang mereka sendiri tidak mengerti, bahasa yang mati-matian mereka pelajari (baca tulis) sebelum mereka mempelajari lebih dalam bahasa nasional atau bahasa ibu mereka sendiri. Para muslim lebih banyak belajar sejarah orang2 islam yg secara geografis dan etnis berada jauh dari mereka dibanding sejarah negara mereka sendiri ketika islam belum datang.

Konsekwensi buruk lain dari berkuasanya Islam ini adalah bahwa islam memotong habis budaya warisan NON-MUSLIM yang sebenarnya sangat kaya, budaya asli milik pribumi. Seperti V.S. Naipaul gambarkan selama perjalanannya di Pakistan.

Jaman sebelum islam adalah jaman kegelapan: itulah bagian dari ajaran teologi Muslim. Sejarah harus mendukung teologi ini. Kota terpendam Mohenjodaro di lembang sungai Indus – yg diserang oleh Bangsa Arya 1500 SM – adalah salah satu kejayaan arkeologi Pakistan dan dunia. Penggalian kota ini sekarang dirusak oleh pengairan dan penggaraman, pengajuan dana ke badan2 dunia sedang diajukan utk mencegah hal ini. Sebuah surat pembaca di harian Dawn Pakistan menawarkan sebuah ide utk situs penggalian itu. Ayat Quran, tulisnya, harus diukir dan dipasang di Mohenjodaro pada ‘tempat2 yang pantas’: “Katakanlah (pada mereka, Hai Muhammad): berkelilinglah dan lihat akibat bagi mereka yang bersalah… Katakanlah (Hai Muhammad, pada orang2 kafir): berkelilinglah dan lihat akibat bagi orang2 sebelum kamu. Kebanyakan mereka adalah penyembah berhala”

Naipaul lalu mengutip karya Sir Muhammad Iqbal (1875-1938), seorang muslim penyair asal India yang sering dianggap sebagai peletak dasar spiritual Negara Pakistan, Seorang Penyair yang secara tidak resmi dianggap sebagai “Penyair Bangsa”. Naipaul menulis:

Adalah menjadi harapan sang Penyair ‘Iqbal’ bahwa negara Muslim India bisa menyingkirkan Islam dari “stempel bahwa Arab dipaksa rakyat mengajarkan agamanya.” Sekarang malah sepertinya orang2 Arab menjadi para imperialis yang paling sukses sepanjang masa; karena ditaklukan mereka (dan menjadi mirip mereka) menjadi kebanggaan dan keinginan setiap benak orang beriman (muslim), agar bisa selamat dunia akhirat.
Sejarah, dalam buku-buku sekolah di Pakistan yang saya baca, dimulai dengan Arab dan Islam. Dalam teks2 yang mudah, kisah sang Nabi, empat Kalifah dan anak2 sang Nabi, dengan tanpa jeda, dituliskan setelah puisi2 Iqbal, Kisah Mr. Jinnah (politikus pendiri Pakistan) dan kisah dua atau tiga orang tentara ‘Pejihad” yang mati dalam peperangan SUCI melawan India ditahun 1965 dan 1971.


Kebencian akan masa lalu para penyembah berhala ditujukan utk membatasi imajinasi sejarah para muslim, utk menyempitkan cakrawala intelektual mereka. Awalnya, sains dari Egyptologi, Assiriology dan Iranology menjadi sebuah hal yg penting bagi akademisi2 dan arkeologis Eropa serta Amerika. Sekarang, terserah pada para arkeologis barat utk menemukan dan mengembalikan sejarah sejati umat manusia sebagai bagian dari masa lalunya yang cemerlang.

Perlawanan terhadap Imperialisme Arab dan Islam

Orang2 Arab dijaman sebelum Islam tidak punya waktu utk agama:[4] “Agama apapun umumnya hanya mendapat tempat yg kecil dalam kehidupan orang Arab, yang lebih banyak terpusatkan pada hal2 duniawi seperti peperangan, arak, permainan dan percintaan.” Watt mengkarakterisasi cara hidup tsb sebagai “Humanisme Kesukuan”. Jadi tidak heran bahwa muslim2 awal sebenarnya hanya ‘diluarnya’ saja muslim tapi dalam hatinya mereka tidak berpihak pada dogma dan moral islam dan tidak paham akan maksud Muhammad dengan “Menyerahkan diri pada Tuhan” [5]. Para penghuni Padang Pasir, yaitu Kaum Bedouin Arab, malah kurang tertarik pada kepercayaan baru ini. Beberapa diantaranya, contoh dari suku Ukl dan Urayna, memang menerima Islam, tapi merasa tidak cocok hidup di kota dan kemudian meminta Muhammad agar mereka boleh kembali ke habitat mereka semula. Muhammad mengirim mereka kepada para gembala dan membolehkan mereka keluar Medina; tapi disana mereka membunuh sang gembala utk melarikan diri dan kembali jadi kafir. Sang Nabi menangkap mereka membalasnya dengan “balasan yg sangat keji”.

Kebanyakan orang Beduin tidak tertarik sama sekali pada Islam, dan akibatnya mereka dibenci oleh orang2 Arab Kota yang telah menerima Islam. Seperti Goldziher paparkan, “Ada banyak sekali kisah2, tak salah lagi diambil dari kejadian nyata, yang menjelaskan perbedaan2 pendapat diantara orang2 Padang Pasir Arab mengenai sholat, ketidaktahuan mereka akan elemen2 ritual muslim bahkan perbedaan terhadap Kitab Suci Allah itu sendiri dan ketidak tahuannya menjadi bagian yang sangat penting. Orang Arab lebih suka mendengar kisah2 atau lagu2 tentang pahlawan paganisme dibanding lantunan suci Quran.” [6]

Tapi orang2 Arab sendiri mendapatkan bahwa larangan2 Islam akan makanan dan minuman tertentu sangat menjengkelkan sekali. Banyak yang menolak larangan minuman arak meski diancam dengan hukuman. Goldziher menjelaskan situasi seperti ini sbb:

Hadis2 dari hari2 awal Islam menunjukkan bahwa diantara wakil2 orang Arab asli ada orang2 yang menghargai kebebasan, dimana sistem yang baru yang mengutuk serta menghukum kenikmatan bebas begitu menjijikan bagi mereka hingga mereka lebih suka meninggalkan masyarakat islam sama sekali, ketika ditegaskan: memaksakan pada mereka agama islam atau kehilangan kebebasan mereka.

Orang yang memilih bebas itu diantaranya adalah Rabi’a b. Umayya b. Khalaf, seorang terkenal dan dihormati, terkenal karena kedermawanannya. Dia tidak setuju larangan minum anggur dibahwa islam, bahkan ia minum anggur ketika bulan Puasa Ramadhan. Karenanya Kalifah Umar melarang dia masuk Medina, ini membuatnya benci akan islam hingga tidak tidak kepingin kembali ke Medina meski Umar telah meninggal, walaupun dia percaya Usman (Kalifah ketiga) akan lebih longgar terhadap dirinya. Dia lebih suka pindah kekerajaan Kristen dan menjadi seorang Kristen.[7]


ARAB RASISME

Mitos bahwa islam tidak bersalah dalam hal Rasial adalah ciptaan barat sendiri karena hal itu menolong membantu tujuan2 barat saat itu. Bukan utk pertama kalinya, sebuah islam yang mitologis dan diidealisasi menyiapkan tongkat kekerasan yang ditujukan utk menghukum dan menimbulkan kejatuhan dunia barat.[8]

Arab Versus Arab
Salah satu alasan fundamental perioda revolusi dalam sejarah Islam adalah seperti yang dipaparkan oleh Goldziher9 “meningkatnya arogansi dan kebanggaan rasial” orang2 Arab. Islam mengajarkan kesamaan derajat diantara orang2 yang percaya, maksudnya muslim tentu (non muslim masalahnya lain lagi), dihadapan Tuhan. Sang Nabi sendiri jungkir balik menanamkan hal ini kedalam benak suku2 Arab bahwa sekarang islam tidak pilih-pilih berdasarkan suku, bukan kesukuan yang akan menjadi pemersatu masyarakat islam. Tapi, persaingan kesukuan terus berlanjut hingga ke jaman Abbasid, pertengkaran dan kompetisi terus ada lama setelah islam mengutuk hal itu, suku2 tidak mampu melenyapkan perbedaan2 mereka dan harus terpisah secara kelompok2 dalam peperangan, kelompok yg berbeda, mesjidnya berbeda.

Persaingan paling hebat dan berdarah adalah antara Arab Selatan dan Arab Utara. Setelah Arab menaklukan Andalusia, “Kelompok2 suku ini harus tinggal dibagian lain negeri mereka dalam usaha mencegah perang sipil, tapi perang sipil itu tetap saja terjadi.” Mustafa b. Kamal al-Din al-Siddiqi menulis tahun 1137AH: “Kebencian fanatik antara Qaysite (Arab Utara) dan Yaman (Arab selatan) terus berlanjut hingga hari ini diantara orang2 Arab, bahkan sekarang peperangan diantara mereka belum lagi berakhir, meski telah diketahui bahwa tindakan2 demikian dilarang oleh Nabi dan dianggap kelakuan jaman Jahiliyah.”[10]

Bahkan didalam suku2 yang termasuk kelompok sama, masing-masing menganggap suku mereka jauh lebih hebat dari suku lain hingga mereka menolak perkawinan antar suku tsb.

Hadis2 palsu dikarang dan dikatakan berasal dari mulut sang Nabi dan ‘disalah gunakan utk keuntungan persaingan rasial ini’. Seiring dengan penaklukan arab akan lebih banyak teritori2, penunjukkan jabatan penting tidak memuaskan suku2 yang bersaing ini dan menyebabkan perang sipil berdarah makin berlanjut. Seperti kata Goldziher, persaingan rasial dari dua abad pertama Islam menunjukkan kurang suksesnya ajaran Muslim akan kesetaraan diantara orang2 Arab sendiri.

ARAB VERSUS NON-ARAB

Kita sekarang sampai ke dunia lain dimana ajaran muslim akan kesetaraan semua manusia didalam islam tetap menjadi hal yang mati utk waktu lama, tidak pernah terealisasikan dalam benak orang arab dan secara bulat ditolak dalam sikap keseharian mereka
[Goldziher hal.98]


Setelah penaklukan spektakular mereka, orang Arab tidak sudi mengakui kesetaraan mualaf non arab didalam islam, meski doktrin Islam secara jelas melarang diskriminasi antar orang islam sendiri. Tapi bagi orang arab yang ada hanyalah sang penakluk dan yang ditaklukan, dan tak pelak lagi mereka tidak mau melepaskan keistimewaan ini.

“Muslim2 non arab dianggap lebih rendah dan dijadikan subjek serangkaian pajak, sosial, politik, militer dan kekurangan2 lainnya.”11 Orang2 Arab memerintah seakan “Aristokrat Penakluk Bangsa lain,” dimana istilah “Arab Asli” hanya berlaku bagi orang yang murni berdarah Arab baik dari sisi ayah maupun dari sisi ibu. Orang2 Arab mempunyai banyak selir dari orang2 yang mereka taklukan, tapi anak2 dari wanita budak ini terdiskriminasi dan tidak dianggap sebagai ‘Arab Murni’.

Orang2 Arab mempraktekan segala macam tindakan apartheid terhadap muslim non arab: Orang Arab memandang muslim non arab sebagai orang asing apapun kelas atau derajat orang itu; memperlakukan mereka dengan cemooh dan jijik. Mereka harus berperang dg berjalan kaki, dicabut hak2 harta rampasan perangnya. Mereka tidak boleh berjalan disisi yang sama dengan orang arab asli, atau duduk dengan tinggi yang sama. Hampir disetiap tempat ada kemah dan mesjid terpisah yg dibangun khusus utk memisahkan arab dengan non arab. Perkawinan diantara mereka (lelaki) dengan arab murni (wanita) dianggap sebagai kriminal sosial.”[12]

PERBUDAKAN

Buat muslim – seperti telah diketahui oleh setiap peradaban lain dalam sejarah – dunia beradab artinya adalah dunia mereka sendiri. Mereka sendiri yang memiliki pencerahan dan iman sejati; dunia diluar itu dihuni oleh kafir dan barbarian. Beberapa diantaranya dikenali sebagai pemilik sebentuk agama dan setitik peradaban. Sisanya – politeis dan penyembah berhala – dipandang sebagai sumber budak belaka.[13]

Quran mengakui institusi perbudakan dan mengenalinya sebagai ketidaksetaraan antara sang Tuan dan Budaknya

Surah 16.71: Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah;

Surah 30.28 Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada diantara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepadamu; maka kamu sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rezeki itu, kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri? Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal.)


Selir diperbolehkan :

4.3 Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

23.6 kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.

33.50 Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

33.51 Kamu boleh menangguhkan (menggauli) siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (istri-istrimu) dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki. Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu. Yang demikian itu adalah lebih dekat untuk ketenangan hati mereka, dan mereka tidak merasa sedih, dan semuanya rela dengan apa yang telah kamu berikan kepada mereka. Dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

33.52 Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.


Quran juga menganjurkan berbuat baik terhadap budak, dan membebaskan sang budak dianggap sebagai tindakan saleh, tapi tidak melarang perbudakan itu sendiri. Sang Nabi sendiri mengambil banyak tawanan perang sebagai budak dalam peperangannya melawan suku2 Arab lain; mereka yang tidak ditebus pihak lawan dijadikan budak.

Dibawah islam, budak tidak punya hak apapun, mereka dianggap ‘benda’ belaka, barang milik Tuannya, yang boleh dibuang semaunya – dijual, diberikan dll. Budak2 tidak bisa menjadi pelindung atau memberi kesaksian, dan yang mereka dapatkan otomatis jadi milik Tuannya. Budak tidak bisa jadi saksi didepan Hukum. Bahkan masuk islampun tidak otomatis membebaskannya dari perbudakan kecuali sang Tuan membebaskannya. Tapi tidak ada kewajiban sang Tuan utk membebaskannya, hanya anjuran belaka.

Pada tahun2 awal penjajahan Arab, sejumlah besar budak didapatkan lewat tawanan perang; “Pemakaian tenaga gratis ini membuat arab bisa hidup ditanah taklukan sebagai kelas tuan tanah dan mengeksploitasi potensi2 ekonomi dari tanah yang mereka jajah tsb.”[14] Tapi ketika orang2 yang mereka taklukan mulai diberikan status ‘terlindungi’ (karena masuk islam), sumber2 budak ini mulai habis, dan orang Arab mulai melirik tanah yang lebih jauh lagi utk suplai budak mereka. Negara2 taklukan secara berkala dipaksa menyerahkan ratusan lelaki dan wanita budak sebagai bagian dari upeti.

Arab secara dalam terlibat dalam jaringan besar penjualan budak – mereka menyediakan suplai bagi pasar budak di China, India dan Asia Tenggara. Ada budak2 Turki dari Asia Tengah, budak dari kerajaan Byzantine, budak kulit putih dari Eropa Timur dan Tengah, dan budak kulit hitam dari Afrika Barat dan Timur. Setiap kota didunia islam mempunyai pasar budak masing-masing.

Sejak saat penangkapan hingga penjualannya, ratusan budak dipaksa mengalami kondisi tidak manusiawi dan direndahkan, ratusan mati karena kelelahan, haus dan penyakit. Yang ‘beruntung’ hidup menjadi pelayan2 domestik, sementara yang ‘tidak beruntung’ dieksploitasi utk bekerja maksimum melewati batas kemampuan manusiawi mereka di tambang garam, di rawa-rawa, bekerja di perkebunan gula dan katun.

Meski praktek demikian dengan jelas dilarang Islam, budak wanita tetap saja disewakan sebagai pelacur. Jika tidak, tentunya, mereka bisa dibuang begitu saja ketika fungsi seksualnya sudah tidak diperlukan lagi. Meminjam perkataan Stanley Lane-Pool: [15]

Kondisi budak perempuan di Timur sungguh2 menyedihkan. Ia (Budak perempuan) sepenuhnya berada dalam tangan sang Tuan, yang bisa melakukan apapun sesuka dia dan sahabat2nya; bagi muslim tidaklah dilarang utk memiliki selir. Sang Budak wanita kulit putih berada dalam kekuasaan sang Tuan dalam hal seksual dan akan dijual ketika telah bosan, dan berpindah tangan dari satu tuan ke tuan lainnya, sebagai perempuan budak yang rusak. Kondisinya akan sedikit membaik jika dia mengandung anak Tuannya; tapi meski demikian sang Tuan tetap bebas utk tidak mengakui anak tersebut sebagai anaknya, meski otomatis anak tersebut menjadi barang miliknya tapi sang Tuan jarang mengakui sebagai anaknya. Hal ini adalah tauladan yang diikuti dari sang Nabi terhadap budak wanitanya, orang tidak bisa melupakan kebrutalan yang dilakukan para pengikutnya terhadap bangsa yg mereka taklukan dalam perbudakan. Tentara2 muslim dibolehkan melakukan apa saja yang dia suka terhadap wanita ‘kafir’ yang dia dapatkan dalam kemenangan2 perang. Jika kita bayangkan ribuan wanita, ibu dan anak perempuan, yang menderita dipermalukan dan dilecehkan hanya karena IJIN ILAHI ini, kita tidak akan bisa menemukan kata2 yang tepat utk mengungkapkan horor dan tindakan keji yg dilakukan para oknum muslim ini, nooo, maksudnya seluruh muslim.

Dalam tulisan mengenai wanita di buku ini, ada kecenderungan kita manusia utk melupakan nasib, perlakuan, kondisi dan pembatasan hak2 yang dialami oleh para budak wanita ini.

PRASANGKA ANTI-KULIT HITAM

Tidak terbayangkan apa yang akan dipikirkan orang2 Rusia jika mereka tahu – kalau mereka sadar – bahwa penulis besar mereka, Pushkin, punya darah Ethiopia. Juga apa yang dilakukan orang Arab akan para penyair kulit hitam mereka, khususnya Ethiopia, yang dikenal sebagai “Burung2 Gagak dari Arab”? Terdapat beberapa penyair arab selama Pra-Islam dan awal Islam yang jika tidak berdarah murni Afrika maka campuran Arab Afrika. Jelas dari puisi2nya bahwa mereka menderita kecaman rasial bahkan, hingga titik tertentu, punya kebencian dan rasa kasihan akan diri mereka sendiri: keluh kesah dan pembelaan mengenai hal ini. “Aku hitam tapi jiwaku putih.” “Para Wanita akan mencintaiku kalau saja aku putih” adalah isi puisi yang biasa mereka teriakan.

Sebut saja Suhaytin (meninggal 660), Nusayb ibn Rabab (m 726), penyair2 yang sejaman dengan Nusayb, Al-Hayqutan, dan Abu Dulama (m 776) adalah para penyair terkenal dari “Burung2 Gagak dari Arab” ini. Budak2 kulit hitam makin direndahkan statusnya di masyarakat muslim awal. Dalam perkataan Lewis, “Di Arab Kuno, seperti juga dalam jaman dulu, rasisme – dalam pengertian modern sekarang – tidak dikenal. Dispensasi islam sebenarnya tidak mendukung hal tersebut, islam mengutuk kecenderungan universal terhadap etnis dan arogansi sosial serta menyerukan kesamaan bagi semua manusia, maksudnya manusia muslim, dihadapan Tuhan. Tapi, dari catatan sejarah, jelas bahwa sebuah pola yg baru dan kadang jahat akan rasial dan diskriminasi telah muncul di dunia islam.” [16]

PEMBEBASAN/PENGHAPUSAN PERBUDAKAN

Perbudakan didunia islam berlanjut, hebatnya, hingga ke abad 20. Menurut Brunschvig,[17] “Budak kulit hitam lelaki maupun perempuan terus diimpor ke Maroko sampai abad 20, terakhir dengan tingkat kerahasiaan tinggi karena perjalanan dari Timbuktu dan penjualan budak secara terbuka sudah dilarang dan tidak memungkinkan.”

Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa perbudakan masih ada di Saudi Arabia dan Yaman hingga tahun 1950. Perbudakan begitu dalam berakar dinegara ini hingga pembebasan budak adalah sebuah proses yang sangat lamban. Hanya karena tekanan internasional sajalah proses ini terpaksa dimulai didalam islam, seperti Brunschvig tunjukkan, tidak pernah ada dakwah/khotbah mengenai pembebasan perbudakan sebagai sebuah doktrin; dan “fakta bahwa dikatakan dalam Quran perbudakan pada prinsipnya tidak menyalahi hukum islam dianggap telah menjawab keberatan2 religius tentang ini. Pembebasan Total Perbudakan mungkin dipandang sebagai Bidah, kebalikan dengan yang dituliskan dalam Kitab Suci mereka dan contoh tauladan dari nabi, sahabat serta para muslim pertama.”

Baru baru ini, para pekerja dari Asia Tenggara yang dipekerjakan sebagai pembantu di Arab dan timur tengah, atau Saudi Arabia diperlakukan layaknya budak – paspor mereka diambil, sering dilarang keluar rumah (bahkan dikunci didalam kamar). Menurut sebuah laporan dari majalah Perancis L Vie (No.2562, Okt 1994) sebanyak 45.000 orang Afrika dalam setahun masih diculiki dan dijadikan budak – sebagai pembantu dinegara2 teluk dan timur tengah.

REAKSI ANTI-ARAB

Shu’ubiya

Nama ini diambil dari Surah 49.13, yang mengajarkan kesetaraan diantara semua MUSLIM. Shu’ubiya adalah sebuah kelompok yang memprotes arogansi Arab bahkan mereka meninggikan bangsa non Arab diatas bangsa Arab yang mereka benci dan mereka anggap sebagai barbarian padang pasir. Kelompok ini mencapai puncak pengaruhnya selama abad kedua dan ketiga Hijriah. Dibawah Kalifah Abbasid, Kelompok Persia tertentu menuntut dikembalikannya kebiasaan2 Zoroastrian – sebuah pertanda jelas bahwa Islam sangatlah tidak berarti bagi lingkaran orang Persia kelas atas dan berpendidikan. Contoh, Jendral di jaman Kekalifahan Abbasid al-Mutasim (833), Khaydhar b. Kawus juga dikenal sebagai Afshin, sangat aktif dan sukses secara militer dalam perang2 agama melawan pihak Kristen dan ‘kafir’ macam Babak – pendeknya, dia adalah pahlawan Islam yang pertama-tama. Tapi jelas sekali bahwa dia itu:

Menganggap remeh orang muslim hingga dia menyiksa dua propagandis islam yang ingin mengubah kuil kaum pagan menjadi mesjid; dia mengejek hukum islam dan makan daging dari binatang yang mati dicekik dan juga menganjurkan orang lain memakan daging yang sama seraya berkata bahwa daging demikian lebih segar daripada yang didapat dengan cara ritual islamik. Dia mengejek tradisi sunat dan tradisi2 lainnya serta tidak peduli akan itu semua. Dia punya mimpi utk menghidupkan kembali kerajaan Persia dan “agama Putih”, dan menghina orang2 Arab, Maghribin dan Muslim2 Turki.[18]

Seperti kata Goldziher, Afshin adalah contoh tipikal tentang banyaknya orang2 non arab bergabung menjadi muslim hanya karena keuntungan materi semata, sementara mereka tetap membenci arab karena telah menghancurkan kebebasan bangsa Persia dan tradisi2 nenek moyang mereka, dan mereka punya mimpi utk membalas orang arab atas apa yang telah mereka alami selama berabad-abad.[19]

Ada banyak cara utk melawan kebencian orang Arab terhadap kelompok2 non arab. Taktik defensif dituliskan dalam sejarah karena demi kepentingan sejarah belaka, tapi hal ini juga sangat penting bagi para pemikir jaman itu, khususnya seperti yang akan kita lihat nanti pada para intelektual kaum Berber, yg melihatnya sebagai satu jalan utk lolos dari imperialisme Arab dan bahkan lolos dari islam itu sendiri, selamanya!

Setiap kelompok yang dibenci Arab sama-sama mengingat dan menunjuk pada masa lalunya yang jaya sebelum islam datang utk melawan kebencian orang Arab terhadap mereka. Orang Persia jelas tidak perlu membesar-besarkan atau mengarang masa lalu mereka yang sangat antik dan canggih dalam peradaban. Orang Nabatean juga melakukan hal yang sama. Orang Nabatean adalah orang2 Arab kuno yang disebut2 orang diawal abad ke-7 SM. Ahli Kimia Nabatean, Ibn Wabahiyya[20] “tergerak oleh kebencian yang mendalam akan orang Arab dan kegetiran yang penuh rasa benci orang Arab terhadap mereka, memutuskan utk menerjemahkan dan membuat mudah akses kepada sastra Babilon Kuno yang mereka pelihara hanya untuk pamer bahwa nenek moyang mereka, yang begitu dibenci orang arab, punya peradaban yang jauh lebih tinggi dan lebih maju dalam ilmu pengetahuan.” Terjemahan2 itu disebut “Agrikultur Nabatean”, sekarang dianggap sebagai pemalsuan dari Ibn Wahshiyya. Hal yang sama juga terjadi pada bangsa Koptik di Mesir yang menulis buku-buku “tentang jasa-jasa Mesir kuno dibandingkan dengan kejelekan pengaruh orang2 Arab.”

Secara umum pencapaian orang2 non-Arab disegala bidang secara konstan ditegaskan: “Kaum Shu’ubites tidak lupa menyebutkan karya seni dan sains bagi umat manusia karya orang2 non arab: filosofi, astronomi dan kain2 sutra, yang dipraktekan oleh orang non arab padahal orang2 Arab jaman itu masih berada dalam barbarisme yg paling dalam, segala sesuatu yang bisa dibanggakan arab saat itu hanya berpusat mengenai syair; tapi disinipun mereka dikalahkan oleh bangsa lain, terutama Yunani.” Permainan-permainan yang diciptakan oleh orang non arab, catur dan Nard, juga disebut-sebut. Apa yang dilakukan oleh orang Arab utk melawan kehebatan2 perabadan itu, utk membuat peradaban arab terdengar hebat juga? “menghadapi semua ini mereka hanya bisa berteriak saling membunuh, menghancurkan satu sama lain dan bertempur tanpa henti.”[21]

Khurrami dan Babak Revolusi[22]

Mungkin pemberontakan Kaum Khurramis membuat penguasa Abbasid menjadi lebih berhati-hati dibanding pemberontakan lainnya. Kaum Khurrami mewakili pergerakan religius dan sosial yang berasal dari Mazdakisme dan menonjol diabad ke-8. Apapun sifat pergerakan ini di abad 8, ketika Babak Khurrami mengambil alih kepemimpinan di awal abad 9, dia mengubahnya menjadi sebuah gerakan anti-Arab, anti-Kekalifahan dan sampai titik tertentu berubah menjadi revolusi anti-muslim. Rasa tidak suka terhadap penguasa arab menjadi makin populer dan makin menambah jumlah pengikut Babak di Azerbaijan, tapi banyak juga terdapat kaum Khurrami dikota2 lain dan daerah2 lain seperti Tabarestan, Khorasan, Balkan, Isfahan, Qom dan Armenia. Babak sukses melawan kekuatan Abbasid selama hampir 20 tahun, berulang kali menang dari peperangan yang dilakukan dijalan2 pegunungan yang sempit. Akhirnya Kalifah al-Mutasim menunjuk Jenderal al-Afshin (lihat sub bab sebelumnya) sebagai Komandan, dan dalam dua tahun saja Babak bisa tertangkap. Tahun 838, Babak dipermalukan dimuka umum dan lalu dieksekusi dengan cara yang sangat keji atas perintah al-Mutasim.

Pergerakan Khurrami sepertinya akan berlanjut hingga ke abad 9, dan ada bukti gerakan Babak ini berubah menjadi sebuah gerakan kultus hingga akhir abad 11.

KEJAYAAN PRA-ISLAM

Baru pada abad 19 sajalah, sekali lagi, sebuah negara muslim menunjukkan ketertarikannya pada masa lalu Pra-Islam. Ditahun 1868, Sheikh Rifa al-Tahtawi, sejarawan, penyair, sastrawan, menerbitkan sebuah buku sejarah Mesir, dengan penekanan pada masa lalu jaman Firaun. Hingga saat itu, tentu saja, sejarah Mesir hanya dimulai sejak penaklukan Arab saja. Al-Tahtawi mencari identitas mesir dalam hubungan nasional dan patriotis – bukan hubungan dengan islam, atau Pan-arabisme. Mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah islam, seseorang mencoba melihat negaranya sendiri sebagai “identitas yg hidup dan terus menerus mengalami beberapa perubahan bahasa, agama dan peradaban.”[23]

Alasan kenapa pencapaian Sheikh Rifa ini begitu penting adalah bahwa utk pertama kalinya sejak Shu’ubiyya, seseorang berani menantang dogma muslim yang resmi, dogma yang mengatakan jaman pra-islam adalah jaman barbarisme dan kebodohan dan tidak pantas ditulis dalam sejarah atau diingat-ingat. Dia berani memuji-muji Paganisme Mesir; dia berani memberi suara akan pemikiran yang sebelumnya merupakan alternatif lain dari peradaban islamik, bahwa peradaban tsb bisa dan memang mengambil bentuknya yang berbeda. Jika proses pendidikan sejarah dilanjutkan dinegara2 muslim lainnya – lagipula Irak dan Iran juga bisa membanggakan masa lalu pra-islam mereka yang luarbiasa – ini akan berujung pada perkembangan hidup intelektual disana yg memang perlu, toleransi yang lebih dalam bagi gaya hidup lain, perkembangan akan pengetahuan sejarah yang sampai sekarang masih dibatasi dan sempit.

Pengetahuan lebih banyak akan masa lalu pra-islam akan berakibat berkurangnya rasa fanatisme. Jika Jaman Firaun, dan belakangan masa lalu Kristen Koptik, dipandang sebagai sumber kebanggaan yang sejajar, maka Kristen Koptik sekarang bisa diterima sebagai bangsa Mesir yang setara, bukannya dianiaya sebagai minoritas ditanah nenek moyang mereka sendiri, seperti yang terjadi sekarang ini. Tidakkah kita akan mengenal identitas Aljazair yang sejati, tanya Slimane Zeghidour, jika kita mengenali masa lalu kita yang bermacam-macam dan mirip – seperti Berber, Romawi, Arab, Perancis? (Telerama 1, July 1992). Ide akan perubahan dan keberlanjutan akan juga menjadi bagian dari kesadaran muslim jika masyarakat muslim ingin maju – ini hanya bisa terjadi dengan mengenali masa2 pra-islam, dan penilaian yang adil akan periode kolonialisme Eropa.

Pengabaian sengaja akan masa pra-islam punya pengaruh merusak yang sangat halus pada orang2 didunia muslim. Seperti kata Naipaul, “Kepercayaan menghilangkan masa lalu. Dan jika masa lalu dihilangkan seperti ini, bukan hanya gambaran sejarah saja yang dihilangkan. Tingkah laku manusia, dan hal2 ideal akan perbuatan mulia juga akan menghilang.” Segala sesuatu dipandang lewat sudut pandang yang telah dirusak oleh “Satu-satunya Kepercayaan Sejati”. Perbuatan manusia dinilai berdasarkan apakah perbuatan itu berarti bagi penegakan ‘agama sejati’ ini – kebenaran, keberanian dan kepahlawanan, hanya jadi milik ‘pihak agama sejati’. Jaman sebelum kedatangan ‘agama sejati’ juga dinilai satu sudut pandang saja, “dan apa yang ada diluar itu dinilai dengan sudut lain. Kepercayaan mengubah nilai2, gagasan akan perbuatan baik, penilaian2 manusia” [New York Review of Books, 31 Jan 1991]. Fakta bahwa ‘agama sejati’ ini didirikan dengan keserakahan dan kekejaman diliwatkan begitu saja atau dimaafkan atau dicari alasan pembenaran – kekejaman jika dilakukan atas nama agama bahkan dianjurkan atau dititahkan oleh Illahi.

Perpecahan dunia yg terjadi secara abnormal menjadi pihak ‘beriman/muslim’ dan ‘kafir’ punya efek menghancurkan pada sudut pandang intelektual Arab, bahkan bagi intelektual arab sekular sekalipun, yang seperti bisa kita lihat jadi menyalahkan semua tanggung jawab akan kekacauan dan penderitaan Timur Tengah kedunia Barat.

IMPERIALISME EROPA

Benar Perancis menjajah Aljazair, tapi begitu juga Arab dan Turki sebelumnya. Benar bahwa mereka mengkolonisasi negeri itu dan mengambil banyak dari tanah negeri itu, tapi begitu juga dengan Arab dan Turki sebelumnya. Perancis tak pelak lagi bersalah, tapi apa kesalahan mereka lebih besar dari bangsa penjajah sebelumnya? Saat Perancis berkuasa terdapat kemiskinan dan penganiayaan, tapi apakah Aljazair Corsair ataukah Aljazair yang terbentuk tahun 1962, yang menjadi contoh kebebasan, kemakmuran dan keadilan? Berapa banyak orang aljazair sekarang malah rela berada dijaman kekuasaan Perancis lagi, seperti dulu.
Kedouri, Times Literary Supplement, 10 Juli 1992
Aljazair sebelum Perancis datang tahun 1830 masih ‘tidak beradab’ dipandang dalam definisi apapun.
Hugh Thomas[24]

Tidak ada orang India yang berpendidikan dan punya penghargaan tentang kebenaran sejarah akan menyangkal bahwa, dengan segala kekurangannya, Penjajahan Inggris telah menimbulkan kesejahteraan dan kebahagiaan pada penduduk India.
Nirad Chaudhuri[25]


Memahami secara mendalam tentang sejarah2 akan sampai pada periode imperialisme Eropa. Mari kita lihat India. Setelah hari pertama kemerdekaan tahun 1947, sejarawan India menggelontorkan sejarah2 ‘nasionalis’ yang tidak mendapat tebusan dari pihak inggris. Belakangan, setiap derita, setiap kegagalan, setiap kekurangan dari negara baru ini di tahun 1960 dan 1970 selalu ditelusuri mundur dan mendapat kambing hitam pada periode ‘setan’ dari kehadiran Inggris, eksploitasi bangsa Inggris. Hampir 50 tahun kemudian, penilaian yang lebih ‘dewasa’ memberikan gambaran yang seimbang akan keuntungan2 yang inggris hadirkan juga di India. Dibawah ini adalah pendapat seorang humanis radikal, Tarkunde26 yang merangkum kontribusi Inggris:

Adalah mitos, yang dikarang oleh imajinasi para nasionalis India, bahwa sebelum penjajahan Inggris, India adalah sebuah negeri yang sangat maju secara budaya dan ekonomi, dan bahwa degradasi moral dan materi disebabkan karena dominasi asing ini. Bahkan dengan melihat sekilas sejarah India saja orang akan mengerti bahwa tuduhan ini tidak punya dasar. Jika India dulunya sungguh negara maju, maka tidaklah akan mudah ditaklukan oleh segelintir pedagang yang datang dari jarak 9.000 km jauhnya dg memakai kapal laut. India dulu adalah sebuah negeri diktator, tak ada keadilan dan diambang anarki, sebagian besar rakyat menyambut hukum dan disiplin yg ditegakkan pemerintah Inggris. Meski pemerintah Inggris di India mulai tidak punya potensial yang progresif sekitar awal abad lalu, tapi pengaruh awalnya pada negeri ini sangatlah menguntungkan. Karena dikenalkannya semangat kebebasan, rasionalisme dan harga diri oleh pemikiran2 liberal Inggris, Renaissance (kebangunan kembali) yang meski muncul terlambat mulai berkembang di India, dan mengambil bentuk sebuah pergerakan melawan takhyul2 religius dan menimbulkan akibat2 sosial seperti dihilangkannya tradisi Sati, legalisasi bagi janda utk menikah kembali, anjuran pendidikan bagi wanita, pencegahan pernikahan anak-anak dan perlawanan terhadap kebiasaan2 buruk lain yang sebelumnya tidak bisa disentuh.

Demokrasi Parlemen, Aturan perundangan dan sifat undang2 adalah warisan dari Inggris. Orang2 Arab tidak menunjukkan ketertarikan sama sekali dengan sejarah dan budaya dari penduduk yang mereka jajah. Inggris di India, secara perbandingan, mengembalikan pada seluruh orang india – baik itu muslim, Hindu, Sikh, Jain, Buddhist – budaya mereka sendiri dalam serangkaian karya2 intelektual yang monumental dan berdedikasi, karya2 yang menjadi penggerak kesaksian, intelektual, daya tarik sains, karya2 yang dalam banyak hal tidak pernah lolos dari riset modern. Imperialis seperti Lord Curzon menyelamatkan banyak monumen2 arsitektur India, termasuk Taj Mahal, dari kehancuran.

Saya mengambil India sebagai contoh, tapi seperti Kedouri dan yang lainnya tunjukkan, kekuasaan imperial Eropa secara umum, dengan segala kekurangannya, pada akhirnya menguntungkan yang dijajah seperti juga menguntungkan sang penjajah. Meski ada beberapa kejadian yang tidak mengenakan, kekuasaan Eropa berlaku, secara keseluruhan, cukup manusiawi.

Tentu saja, banyak penjajahan Eropa dicapai dengan korban islam. Dogma muslim sangat buruk mempersiapkan para muslim akan kekalahan:

Politik secara sukses menjauhkan islam, dan jejak sejarah dunia membuktikan kenyataan akan agama ini. Muslim berperang utk menyebarkan islam dan menaklukan kafir; peperangan ini dianggap suci, dan pahalanya bagi mereka yang mati adalah ‘bahagia abadi di surga’. Kepercayaan demikian, yang dalam sejarah islam sendiri sepertinya dipercaya buta begitu saja, mengilhami para muslim agar percaya diri dan merasa kuat dan superior. Karenanya, serangkaian kekalahan panjang ditangan orang Kristen Eropa mengurangi rasa ‘percaya diri’ para muslim, dan menghasilkan krisis moral dan intelektual yang lebih parah. Karena kekalahan militer bukan hanya berarti kalah dalam pengertian duniawi belaka tapi juga bisa berarti menyeret mereka kedalam keraguan akan kebenaran wahyunya yaitu Quran.[27]

Dalam konteks ini; tidak heran bahwa para intelektual muslim, dengan satu atau dua orang perkecualian, telah menanamkan dihati banyak muslim perasaan benci akan barat, yang dalam jangka panjang akan berujung pada penghambatan penerimaan terhadap barat ketika muncul kebutuhan utk reformasi, utk berubah, utk mengadopsi HAM, utk aturan perundangan – pendeknya, utk semua gagasan dan ide yang berasal dari barat, dan yang dianggap sebagai ciri2 dari barat.

Sangat menyedihkan fakta bahwa selama Perang teluk hampir setiap intelektual muslim dan arab bersimpati pada Saddam Hussein, hanya karena dia “berani berdiri tegak melawan barat.” Dalam ini terrangkum semua pengertian mengenai kegagalan islam, dan perasaan ‘lebih rendah’ jika berhadapan dengan Barat. Dunia muslim mestilah berada dalam keputus asaan yang hebat jika mereka malah melihat ada harapan dalam seorang tiran seperti Saddam yang telah membunuh ribuan orang bangsanya dan bangsa mereka sendiri – Arab, Kurdi, Sunni, Shia, muslim dan Yahudi. Intelektual muslim yg sama sepertinya tidak mampu mengkritik diri dan masih saja berperang didalam dirinya mengenai ‘mereka’ dan ‘kita’, berkecamuk Perang salib sekali lagi dalam dirinya. Setiap penderitaan, setiap kegagalan dalam dunia muslim mestilah disalahkan barat, Isratel atau konspirasi Zionis. Seperti Kanan Makiya[28] tunjukkan dengan berani,

Kebiasaan lama susah matinya. Kebiasaan2 yang paling susah mati diantara orang2 yang telah mewajibkan hal2 ‘kebanggaan diri’ dan identitas kolektif dengan menyalahkan segala penderitaan pada ‘orang lain’ – agen asing atau ‘budaya asing’ diluar komunitas mereka yang sebenarnya jauh lebih maju dan sering jauh lebih berkuasa dan dinamis. Hal paling menyakitkan utk diperhatikan adalah teriakan tak kenal lelah dari para ulama Arab yang berusaha utk menyalahkan setiap penderitaan muslim dipundak orang Barat atau Israel. Bahasa ini menjadi makin tidak nyata, histeris dan berbalik mencambuk diri mereka sendiri seiring dengan semakin menurunnya dunia Arab secara politis dan budaya dijaman modern ini.

Ulama2 modern Arab mempengaruhi orang arab utk menegaskan diri mereka secara negatif: “Seseorang menjadi ‘orang’ karena siapa yang dia benci, bukan karena siapa yang dia cintai atau solidaritasnya.” Tak pelak lagi, ulama Arab dan pendengarnya yang mudah dipengaruhi mengagung-agungkan masa lalu mereka yang mitos, Jaman Keemasan ketika ‘seorang muslim bisa mengalahkan 100 kafir’ ‘Bangsanya akan berjaya, negaranya akan berkuasa tapi karena mesin2 imperialis (atau Setan Besar, yang berarti kurang lebih sama)” Seperti Kenan Makiya katakan, kenapa tidak mencoba mengkritik diri sendiri sekali-kali, sebuah pendapat yang juga disampaikan oleh Fuad Zakariya: “tugas budaya kita pada tahap ini adalah menyingkirkan keterbelakangan dan mengkritik diri sendiri sebelum kita mengkritik gambaran diri kita, meski misalnya sengaja diciptakan gambaran demikian, dalam pandangan orang lain.”[29]

NASIONALISME BERBER

Masyarakat berbahasa Berber telah tinggal di Afrika Utara sejak jaman Prasejarah. “Proto-Berber” tinggal di North Afrika sejak 7.000 SM. Berber sering kontak dengan kaum Carthage, tapi secara keseluruhan menjalankan hidup tanpa ketergantungan pihak lain dan terpecah kedalam persaingan antar suku. Kadang muncul Pemimpin jenius yg berhasil menyatukan suku2 ini kedalam satu kerajaan yang mengagumkan. Masinissa (238 SM – 148 SM), anak dari Gaia, raja dari Numidian Timur Massyles, dibesarkan di Carthage dan bertempur dipihak mereka (Carthaginian) melawan Romawi. Tapi kemudian dia bergabung dengan pihak Romawi dan pasukannya menjadi penentu dalam kemenangan Romawi yang terkenal di Zama (202 SM). Masinissa setelah itu mampu membentuk sebuah kerajaan yang terdiri dari seluruh kaum Numidia, menyatukan semua suku2 berbahasa Berber.

Tujuan saya bukanlah memberikan sejarah tentang kaum Berber, tapi hanya utk menggambarkan adanya sebuah peradaban yang kaya dan kompleks, yang punya bahasa, tulisan dan sejarah sendiri sebelum kedatangan bangsa Arab. Penggambaran ini akan memberi latar belakang akan pandangan dari intelektual Berber modern yang menolak Imperialisme Arab dan islam.

Setelah Masinissa, penerus kerajaan Romawi, Vandals dan Byzantine sama-sama tidak mampu menjinakkan kebebasan kaum Berber. Tidak juga, ketika datang bangsa Arab utk pertama kali, dengan segala cara mencoba mempengaruhi kebebasan bangsa ini. Okba b. Nafi, Jendral Muslim, mencoba dengan sia-sia utk menaklukan suku2 hebat ini. Malah, salah satu pemimpin Berber, Kusaila, mampu mengejutkan mereka dan membunuh Okba berserta 300 pasukannya di Tahuda tahun 683. Karena banyaknya suku2 Arab, kaum Berber secara pelahan memeluk Islam, bukan karena pendirian religius yang dalam tapi hanya karena alasan materi belaka, dengan harapan bisa mendapatkan harta jarahan. Dengan pertolongan kaum Berber sajalah, yang beberapa diantaranya secara ironis dianggap sebagai “Pahlawan Arab” – seperti Tariq Ibn Zaid, arab mulai menaklukan Spanyol – dan Jendral2 Arab bisa sepenuhnya menaklukan Afrika Utara.

Tapi, seperti juga dengan muslim non Arab di Persia dan Syria, kaum Berber merasa tersinggung diperlakukan sebagai warga kelas dua oleh orang Arab, dan mengeluh bahwa mereka tidak mendapat harta jarahan yang sama. Tak pelak lagi, mereka berontak melawan orang Arab, yang tentu saja menderita kekalahan luar biasa. Abad 11 dan 12 bisa dilihat sebagai kebangkitan dua dinasti kaum Berber, Almoravid (1056-1147) dan Almohad (1130-1269), bahkan yang muncul belakangan yaitu Marinid juga masih keturunan dari kaum Berber.

Berber termasuk kedalam keluarga bahasa Afro-Asiatic (atau Semit-Hamitic). Saat ini, sekitar 200 sampai 300 dialek Berber dipakai oleh sekitar 12 juta orang di Mesir, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Chad, Burkina Faso, Nigeria, Mali dan Mauretania. Pemakaian dialek utamanya di Aljazair adalah Kabyle dan Shawia; Shluh, Tamazight dan Riff di Maroko; Tamahaq (Tamashek) atau Tuareg di beberapa negara Sahara. Prasasti tertua dalam bahasa Berber bertanggal sekitar 200 SM dan ditulis dalam dialek Tifinag, yang masih dipakai sekarang oleh orang2 Tamahaq.

Penolakan Kaum Berber modern atas Imperialisme Arab

Kateb Yacine (1929-1989), penulis aljazair, adalah intelektual paling terkenal yang menolak imperialisme budaya dari Islam dan Arab, dan yang paling gigih membela pemakaian bahasa nenek moyangnya, Berber. Dia ragu akan islam sejak mula; “Aku sekolah di sekolah Quran, tapi tidak suka agama islam, malah, aku jadi benci dengannya,” kenang Yacine, “khususnya ketika mereka mulai memukul telapak kaki kami memakai penggaris utk membuat kita belajar, tanpa pengertian apapun tentang isinya, belajar Quran. Di sekolah Perancis, guru kami malah seperti ibu kedua saya, saya punya guru yang begitu luarbiasa, yang tahu bagaimana menarik minat diri kami, dia membuat saya selalu ingin sekolah” (Le Monde, 31 Okt 1989).

Dalam sebuah wawancara (sekarang wawancara ini jadi terkenal) dg radio Beur (radio khusus bagi keturunan Perancis Aljazair), Yacine membuat heboh setiap orang dengan mengatakan bahwa dia bukan islam ataupun Arab, tapi Aljazair. Lalu tahun 1987, dalam sebuah wawancara utk journal harian ‘Awal’, Yacine mengungkapkan kebenciannya akan islam:

“Orang Aljazair yang beragama islam arab adalah orang aljazair yang melawan dirinya sendiri, yang asing bagi dirinya sendiri. Orang Aljazair yang dipaksa oleh senjata, karena Islam tidak disebarkan memakai gula-gula dan bunga-bunga, tapi dengan airmata dan darah. Islam berkembang dengan menghancurkan, dengan kekerasan, dengan kebencian, dengan cara mempermalukan terburuk yg bisa dilakukan orang. Kita bisa melihat hasilnya” [Le Monde, 20 Mei 1994, hal. 5].

Dia mengungkapkan harapan ‘Aljazair’ suatu hari akan disebut dengan nama sejatinya, Tamezgha, negeri dimana bahasa Berber (Tamazight) dipakai.

Terhadap tiga agama monoteis, pandangannya semua diucapkan Yacine dg nada keras, menurutnya ketiga agama itu hanya menciptakan ketidakbahagiaan didunia: “Agama2 ini hanya menghasilkan kejahatan dan ketidak bahagiaan bagi bangsa kami. Ketidak bahagiaan Aljazair bermula dari sana. Kami telah bicara dengan orang Romawi dan Kristen. Sekarang mari kita bicara tentang hubungan Islam-Arab: sebuah perjuangan yang akan menjadi paling sulit, paling keras dan paling lama.”

Tepat sebelum meninggal tahun 1989, Yacine menulis sebuah kata pengantar utk sebuah buku lagu oleh penyanyi Berber, Ait Menguelet. Yacine memulai pengantarnya dengan sebuah referensi tentang Larangan konferensi tahun 1980 di Aljazair, konferensi mengenai syair2 Kabyle Kuno, sebuah larangan yang berujung pada kerusuhan karena Berber membela bahasa nenek moyang mereka. Kateb Yacine terus menulis keluhan bahwa seperti ketika mereka dipaksa belajar bahasa Perancis dengan harapan utk menciptakan Perancis-Aljazair, orang2 Aljazair juga dipaksa utk belajar bahasa Arab dan dilarang utk bicara memakai bahasa ibu mereka, Tamazight atau Berber: “Aljazair adalah sebuah negeri yang ditaklukan oleh mitos bangsa Arab, karena dengan alasan arabisasi sajalah bahasa Tamazight dianiaya. Di Aljazair dan diseluruh dunia, banyak orang percaya bahwa bahasa asli Aljazair adalah bahasa Arab.” Tapi Bahasa Tamazight lah sebenarnya bahasa asli Aljazair, dan bahasa ini masih ada meski berabad-abad ditekan dan didominasi bahasa arab.

Perjuangan bersenjata kami mengakhiri mitos Perancis-Aljazair, tapi kami terbenam dalam kekuatan yang bahkan lebih menghancurkan lagi yaitu mitos Aljazair-Islam-Arab. Aljazair Perancis berakhir selama 104 tahun. Aljazair-Islam-Arab telah terjadi selama 13 abad! Bentuk terdalam dari keterasingan adalah tidak percayanya lagi kita ini Perancis-Aljazair, tapi kita malah percaya kita ini bangsa Arab. Tidak ada ras arab dan bangsa arab. Ada bahasa keramat, yang dipakai Quran, dipakai oleh para penguasa utk mencegah orang menemukan identitas mereka sendiri.

Banyak orang Aljazair percaya mereka adalah orang Arab, menyangkal asal usul mereka, dan menganggap Penyair Besar mereka Ait Menguellet, yang menulis dalam bahasa Berber adalah orang asing [Le Monde, 3 Nov 1989].

Identitas Berber di Aljazair, 1994

Bulan April 1994, dilakukan serangkaian pawai utk memperingati “Musim Semi Berber” tahun 1980 ketika kaum Berber melakukan kerusuhan membela bahasa mereka. Mereka diorganisasi oleh sejumlah kelompok budaya Berber yang berkeras ingin menunjukkan identitas Berber mereka: “Kami menginginkan,” Kata salah seorang pendiri Rassemblement pour la culture et la democratie (RCD), “diakuinya bahasa nasional kedua yaitu Berber, dan sebuah identitas yang berbeda dari Islam-Arab, yaitu menuntut pluralisme. Ini adalah Gerakan Budaya Berber yang merupakan sumber dari Liga HAM dan Demokrasi pertama di Aljazair.”

Orang2 Berber yang berpikiran reformis ini melihat tidak ada kesamaan ide antara Islam dan Demokrasi serta HAM. Kaum Berber percaya sudah menjadi ‘kewajiban mereka menentang segala bentuk fasisme,” mereka tidak ingin melihat negara mereka tenggelam kedalam “Barbarisme” (Information, 20 April 1994).

1 Cook, M. Muhammad. Oxford, 1983, hal.86
2 Crone, P., and Cook, M. Hagarism: The Making of the Muslim World. Cambridge, 1977, hal viii, kata pengantar
3 Humphreys, R. S. Islamic History, A Framework for Inquiry. Princeton, 1991.
4 Goldziher, Ignaz. Muslim Studies. 2 vol. terjemahan C.R. Barber dan S.M. Stern. London, 1967-71. Vol.1 Hal.12
5 Ibid, hal.15
6 Ibid, hal.43
7 Ibid, hal.34
8 Lewis, Bernard; The Arabs in History. New York, 1966. hal.101
9 Goldziher, Ignaz. Muslim Studies. 2 vol. terjemahan C.R. Barber dan S.M. Stern. London, 1967-71, hal.98
10 Dikutip oleh Goldziher dalam Goldziher, Ignaz. Muslim Studies. 2 vol. terjemahan C.R. Barber dan S.M. Stern. London, 1967-71, hal.79
11 Lewis, Bernard; The Arabs in History. New York, 1966. hal.42
12 Cambridge History of Islam, hal.40
13 Lewis, Bernard; The Arabs in History. New York, 1966. hal.42
14 Bosworth, C.E. The Islamic Dynasties. Edinburgh, 1980. hal.6
15 Dictionary of Islam, hal.680
16 Lewis, Bernard; The Arabs in History. New York, 1966. hal.36
17 Karya seni Brunschvig dalam Encyclopaedia of Islam, edisi baru
18 Goldziher, Ignaz. Muslim Studies. 2 vol. terjemahan C.R. Barber dan S.M. Stern. London, 1967-71, Vol.1, hal.139
19 Ibid, hal.140
20 Ibid, hal.146
21 Ibid, hal 155
22 Artikel Khurrami di Encyclopaedia of Islam, edisi baru
23 Lewis, Bernard. Race and Slavery in the Middle East. New York, 1990, hal.172
24 Thomas, H. An Unfinished History of the World, London, 1981, hal.602
25 Chaudhuri, N. Thy Hand, Great Anarch, Delhi, 1987, hal.774
26 Tarkunde, V. M., Radical Humanism, Delhi, 1983, hal.11
27 Kedouri, hal.322 dalam B. Lewis (ed), The World of Islam, London, 1976
28 Kanan Makiya. Cruelty and Silence, New York, 1993. hal.235
29 Dikutip dalam Lewis, Bernard. Race and Slavery in the Middle East. New York, 1990, hal.117

Tidak ada komentar:

Posting Komentar