Minggu, 18 Oktober 2009

Bab 3 - Masalah Sumber Islam

Dijaman keragu-raguan ini sedikit sekali hal-hal yang diluar kritikan, dan satu hari kita mungkin bisa berharap mendengar orang berkata bahwa Muhammad sebenarnya tidak pernah ada. - Snouck Hurgronje.[1]

Kisah-kisah dalam hadis mengenai kehidupan Muhammad dan kisah asal muasal Islam serta kebangkitan Islam didasarkan khusus pada sumber-sumber muslim, yaitu (1) Quran (2) Biografi-biografi yang ditulis para muslim tentang Muhammad dan (3) Hadits, yang berupa periwayatan para muslim.

1. Quran
Bukan saja muslim membuat pengakuan luar biasa tentang Quran, tapi juga ada kisah-kisah muslim mengenai sejarah terkumpulnya ayat-ayat Quran. Kita bisa lihat nanti pengakuan itu semuanya palsu dan riwayat-riwayat dalam hadis hanyalah sebuah “kumpulan kebingungan, kontradiksi dan inkonsistensi.”[2] Para scholar mempertanyakan keaslian dari Quran itu sendiri, dan kita bisa mengerti dan melihat pada argumen-argumen kuat mereka tersebut. Disini kita cukup mencatat nama-nama para ahli tafsir muslim terkenal dan paling berpengaruh mengenai Quran, kita juga akan mengacu pada karya-karya mereka nanti dalam bab berikutnya:
Muhammad ibn- Jarir al-Tabari (meninggal 923M) Al-Baghawi (m. 1117 atau 1122) Al-Zamakhshari (m.1143) Al-Baydawi (m.1286 atau 1291) Fakhr-al-Din al-Razi (m.1210) Jalal-al-Din al-Mahalli (m.1459) Jalal-al-Din al-Suyuti (m.1505)

2. Biografi Muhammad dari para muslim
Muhammad meninggal tahun 632M. Bahan-bahan tulisan paling awal mengenai hidupnya yang kita punyai adalah yang ditulis oleh Ibn Ishaq tahun 750M, seratus dua puluh (120) tahun setelah Muhammad meninggal. Pertanyaan tentang keotentikan menjadi makin penting karena bentuk asli dari karya Ibn Ishaq itu sendiri telah hilang dan hanya ada per bagian saja yang belakangan diterima oleh Ibn Hisham yang meninggal tahun 834M, 200 tahun setelah kematian sang nabi. Sumber-sumber lain adalah termasuk Sejarah dari Al-Tabari yang juga mengutip dari buku Ibn Ishaq.

Berikut adalah sumber-sumber utama informasi mengenai kehidupan Muhammad:
a. Ibn Ishaq (m.768M). Selain biografi Muhammad, dia juga menulis sebuah sejarah para Kalifah yang dipuji dan dikutip oleh al-Tabari.

b. Ibn Hisham (m.834) menulis ‘Sirah’ atau ‘Life of Muhammad’, atau lebih tepatnya dia mengedit karya dari gurunya Ibn Ishaq.

c. Sayf b. Umar (d.796) adalah sumber utama dari al-Tabari dalam hal tahun-tahun awal Islam.

d. Al-Waqidi (m.823) juga menulis sebuah biografi sang Nabi dan peperangannya; banyak dikutip oleh al-Tabari dan al-Baladhuri (m.829)

e. Muhammad Ibn Sa’d (m.843) adalah editor kepala dari al-Waqidi dan penyusun dari sebuah kamus yang berupa biografi.

f. Al-Tabari (m.923) adalah seorang berwawasan luas yang menulis banyak subjek (termasuk tafsir Quran), tapi karya yang paling terkenalnya adalah History of the Worlds, yang berisikan sejarah hingga Bulan July 915.

g. Ali b. Muhammad al-Madaini (m.840) – tulisan penting mengenai penaklukan Persia oleh Arab.


3. Hadis
Hadis atau buku riwayat adalah sebuah kumpulan ucapan dan/atau tindakan dari sang nabi yang ditulis berdasarkan para saksi yang mendengar atau melihat langsung atau mendengar dari orang yang menyaksikan langsung (untaian kesaksian ini disebut isnad, sementara isi kesaksiannya disebut matn). Diluar dari apa yang dilakukan dan diucapkan Muhammad, hadis juga menuliskan tentang apa yang dilakukan di hadapan Muhammad, yang diperbolehkan atau dilarang olehnya, meski jika larangan/ijin itu tidak berupa ucapan. Istilah lain dipakai untuk kesaksian jenis ini, dan disebut Sunnah, artinya kebiasaan yang dilakukan dan yang tidak dilakukan. Dengan demikian Sunnah Nabi berupa tindakan-tindakannya, ucapan-ucapannya dan persetujuan/larangan yang tak diucapkannya. Seperti Wensinck katakan, “ketaatan pada Sunnah ini bisa diartikan dengan kata lain yaitu ‘meniru sang Nabi’” Dua istilah ini harus dibedakan satu dari yang lain. Hadis adalah komunikasi oral yang berasal dari nabi, dimana sunna adalah kebiasaan normal dalam tata cara dan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan dalam praktek kehidupannya; Sunnah mengacu pada tujuan religius atau legal tanpa harus berupa ucapan/oral. Dengan kata lain, sesuatu itu bisa dikatakan sunnah meski tidak ada hadis yang meriwayatkannya sekalipun.

Mungkin non muslim tidaklah mengerti secara penuh bagaimana besarnya hadis ini berpengaruh dalam dunia Islam. “Hadis dipegang sebagai referensi keramat setelah Quran diseluruh dunia Islam. Dalam beberapa kasus bahkan dipercaya ada perkataan Tuhan langsung dalam hadis seperti juga ada pada Quran.” Kitab-kitab hadis ini bertindak sebagai dasar teoritikal bagi hukum Islam dan dengan demikian bagi Islam itu sendiri.

Dikatakan ada enam Hadis yang otentik/sahih dan benar yang diterima oleh muslim sunni, yaitu, kumpulan hadis :
(1) al-Bukhari 9m.870),
(2) Muslim ibn al-Hajjaj (m.875), (3) Ibn Maja (m.887),
(4) Abu Dawud (m.889),
(5) al-Tirmidhi (m.892) dan
(6) al-Nisai (m.915).
Kadang ditambahkan hadis dari Ahmed ibn Hanbal (m.855), yang mana ensiklopedi hadisnya yang terkenal disebut Musnad berisi hampir 29.000 hadis dan menjadi subjek bacaan para muslim taat.

Skeptisisme dan Keraguan
Kisah sejarah dan biografi mengenai Muhammad dan tahun-tahun awal Islam dihadapkan pada pengujian yang seksama di akhir abad 19. Sebelum itu para scholar sangat sadar akan adanya elemen legenda dan teologis dalam kisah-kisah ini dan bahwa terdapat kisah-kisah yang sumbernya berasal dari sekumpulan orang yang niatnya hanya “memberi kesan ada dasar sejarah pada orang-orang atau keluarga tertentu dalam kisah tersebut; tapi setelah dipikirkan ketika memilah- milahnya kisah-kisah ‘dongengan’ itu, maka bisa dan cukup membuat kita membentuk sketsa yang lebih jelas mengenai kehidupan Muhammad dibandingkan dengan pendiri-pendiri agama lainnya.”[3] Ilusi ini dimentahkan oleh Wellhausen, Caetani dan Lammens yang menyebutkan “satu persatu data-data hadis itu patut dipertanyakan.”

Wellhausen[4] membagi hadis-hadis kumpulan abad 9 dan 10 menjadi dua: pertama hadis primitif yang sahih, yang pasti dicatat pada akhir abad 8, dan kedua, versi mirip yang kemungkinan ‘sengaja’ diciptakan/dipalsukan untuk menyangkal hadis-hadis pertama tersebut. Yang versi kedua ini penuh dengan fiksi-fiksi/karangan yang tendensius dan bisa ditemukan dalam karya sejarawan seperti Sayf b. Umar.
Prince Caetani dan Father Lammens bahkan meragukan data yang sampai sekarang ini diterima sebagai data ‘objektif.’ Para penulis biografi Muhammad terlalu jauh jamannya untuk bisa mendapatkan data yang sebenarnya; karena jauh dari objektifitas itu maka data-data mereka alhasil berupa fiksi-fiksi tendensius belaka. Lebih jauh lagi, tujuan para penulis biografi ini bukanlah untuk mengetahui hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi, tapi untuk membangun sebuah pemikiran yang ideal dari masa lalu, kisah-kisah yang ‘seharusnya’ mereka pikir terjadi. “Dalam hal ayat-ayat Quran yang perlu penjelasan para penulis ini menghiasi karyanya dengan kejadian-kejadian hebat yang cocok dengan hasrat atau gagasan kelompok tertentu; atau meminjam ungkapan favoritnya Lammens, mereka mengisi ruang-ruang kosong dengan sebuah proses stereotype yang membuat para pengamat kritis jadi tahu sumber asli penggambaran mereka.”[5] Seperti kata Lewis, “Lammens bertindak jauh hingga menolak seluruh biografi tersebut dan menganggapnya tidak lebih dari sekedar tafsir tendensius dan terkaan belaka dari beberapa ayat-ayat dalam Quran yang berisi kehidupan Muhammad, dikarang dan diperincikan oleh generasi-generasi muslim belakangan. [Lewis, Bernard. Race and Slavery in the Middle East. New York, 1990 hal.94] “Bahkan para scholar yang menolak keraguan ekstrim dari Caetani dan Lammens dipaksa untuk mengakui bahwa ‘kehidupan Muhammad sebelum muncul sebagai utusan Tuhan, sangat sedikit sekali diketahui; jika dibanding dengan biografi legendarisnya yang diagung-agungkan oleh para muslim malah bisa dikatakan hampir tidak ada.”[6]

Gagasan Caetani dan Lammens tidak pernah dilupakan, malah diambil oleh sekelompok islamologis Soviet dan membuat mereka membuat kesimpulan logis. Pemikiran para scholar Soviet mulai mengena di tahun 1970 dan menghadapkan tantangan serius bagi kaum ortodox baik pada orang-orang muslim maupun pada periset “kafir” konservatif, N.A. Morozov mengemukakan sebuah teori bahwa Islam tidak bisa dibedakan dari Yudaisme hingga sampai Perang Salib dan bahwa setelah itu sajalah Islam mempunyai dan menerima karakter yang mandiri, sementara Muhammad dan Kalifah Pertama cuma figur mitos belaka. Argumen Morozov yang dikemukakan dalam bukunya “Christ” tahun 1930, dirangkum oleh Smirnov:
Di abad pertengahan Islam hanyalah penggalan dari Arianisme yang dibangkitkan karena kejadian meteorologis di laut Merah dekat Mekah; masih sedarah dengan pemujaan berhala Byzantine. Quran berisi jejak-jejak komposisi terakhir mereka, sampai abad 11. Semenanjung Arab tidaklah mampu melahirkan agama apapun – terlalu jauh dari daerah normal peradaban. Para Islamis Arian ini, yang dikenal pada abad Pertengahan sebagai Kaum Hagar, Kaum Ismail dan Saracen, tidaklah beda dengan orang-orang Yahudi sampai muncul akibat- akibat dari Perang Salib yang membuat mereka mengambil identitas terpisah. Semua kehidupan dari Muhammad dan para penerus langsungnya adalah palsu...[7]

Akan kita diskusikan belakangan bahwa gagasan Morozov ini punya kemiripan kuat dengan pandangan mengejutkan yang dikemukakan sekelompok Islamis Cambridge ditahun 1970. Dibawah pengaruh Morozov, Klimovich mempublikasikan sebuah artikel berjudul “Did Muhammad Exist?” (Apa Muhammad benar ada?)” (1930), dimana dia membuat argumen yang kuat bahwa semua sumber informasi tentang kehidupan Muhammad adalah dari sumber-sumber yang basi. Muhammad mestinya adalah karangan –fiktif- belaka karena selalu diasumsikan bahwa setiap agama haruslah ada pendirinya. Tolstoy membandingkan mitos Muhammad dengan ‘dewa dukun’ Yakuts, Buryats dan Altays: “Maksud sosial dari mitos ini adalah untuk menguji dan mencegah perpecahan blok politik para pedagang, nomad dan petani, yang menjadikan aristokrasi feodal baru berkuasa.” Vinnikov juga membandingkan mitos Muhammad dengan shamanisme, menunjuk pada aspek primitif magis ritual-ritual demikian seperti misalnya Muhammad mengeluarkan air dari jari-jarinya.[8]

Apa yang Caetani dan Lammens lakukan dalam biografi sejarahnya, Ignaz Goldzher telah lakukan dalam studi hadistnya. Goldziher punya pengaruh besar dibidang studi Islamik, dan bukan dibesar-besarkan jika dikatakan dia bersama dengan Hurgronje dan Noldeke, adalah ‘founding fathers’ (Bapak Pendiri) dari studi modern Islam. Prakteknya segala yang dia tulis antara 1870 dan 1920 masih dipelajari secara teliti di berbagai universitas seluruh dunia hingga kini. Dalam karya klasiknya, “On the Development of the Hadith” (Mengenai Perkembangan Hadis),Goldziher “mendemonstrasikan bahwa sejumlah besar hadis yang diterima dalam sebuah kumpulan hadis paling ketat sekalipun adalah pemalsuan yang jelas-jelas terjadi dari abad 8 dan 9 – akibatnya, para saksi yang meriwayatkannya (isnad) juga palsu.” [9]
Dihadapkan dengan argumen-argumen Goldziher yang rapih terdokumentasi bukti-buktinya, para sejarawan menjadi panik dan merancang jalan keluar yang tidak benar untuk tetap mempertahankan adanya keraguan akan argumen-argumen tersebut, seperti, mendalilkan perbedaan ad hoc antara hadis sejarah dan hukum. Tapi seperti kata Humphrey[10] dalam struktur formalnya, hadis hukum dan hadis sejarah sangatlah sama; terlebih banyak scholar muslim abad 8 dan 9 mengerjakan juga kedua jenis hadis tersebut. “Jadi, jika isnad para hadis itu dicurigai palsu, maka harusnya para isnad itu ada dalam laporan- laporan sejarah.”

Seperti kata Goldziher[11] “penelaahan lebih dekat pada sejumlah besar hadis menimbulkan keraguan”, dan dia menganggap sejauh ini sebagian besar hadis “adalah hasil pengembangan religius, sejarah dan sosial dari Islam selama dua abad pertama.” Hadis tidak berguna sebagai dasar sejarah sains dan hanya bisa berfungsi sebagai sebuah ‘gambar kecenderungan’ dari komunitas muslim awal.
Disini saya harus mengungkapkan aib sejarah Islam jika kita ingin mendapatkan pengertian yang benar akan argumennya Goldziher. Setelah kematian si Muhammad, empat sahabatnya menggantikan dia sebagai pemimpin-pemimpin komunitas muslim; yang terakhir dari empat orang itu adalah Ali, sepupu sang nabi dan sekaligus menantunya. Ali tidak mampu menerapkan kekuasaannya di Siria dimana gubernur Muawiya memakai teriakan perang “Balaskan dendam Usman” melawan Ali. (Muawiya dan Usman bersaudara dan keduanya dari klan Umayya Mekah). Kekuatan kedua belah pihak bertemu dalam sebuah peperangan di Siffin. Setelah pembunuhan Ali tahun 661, Muawiya menjadi kalifah pertama dinastinya yang dikenal sebagai dinasti Umayyad, bertahan hingga th.750M. Dinasti Umayyad disingkirkan oleh Abbasid, yang bertahan di Irak dan Bagdad sampai abad 13.

Selama tahun-tahun pertama dinasti Umayyad, banyak muslim sama sekali tidak tahu mengenai doktrin dan ritual-ritualnya. Penguasanya sendiri hanya punya antusias sedikit akan agama dan umumnya membenci para alim ulama. Akibatnya bangkitlah sekelompok alim ulama yang tanpa malu-malu mengarang-ngarang hadis-hadis demi kebaikan komunitasnya sendiri dan mengaitkan hadis-hadis tersebut sebagai ucapan dan tindakan sang nabi. Mereka menentang Dinasti Umayyad yang ‘sesat’ tapi tidak berani terang-terangan jadi mereka lalu mengarang hadis-hadis yang didedikasikan untuk memuji-muji keluarga sang nabi, dengan demikian secara tidak langsung mereka menetapkan kesetiaan mereka pada pihak pendukung Ali. Goldziher menyatakan demikian[12] “Penguasa sendiri tidaklah berpangku tangan belaka. Jika mereka mau pendapat mereka sendiri diakui dan pihak penentang dibungkam, maka mereka juga tahu bagaimana caranya mengarang hadis yang membantu (menguntungkan) pihak mereka. Mereka harus melakukan apa yang lawan mereka lakukan: mengarang dan mengarang dan mengarang lagi hadis-hadis untuk keuntungan mereka. Dan itulah yang mereka lakukan,” lanjut Goldziher:
Pengaruh resmi penguasa dalam hal karang mengarang dan penyebaran hadis serta pemberangusan lawan dimulai lebih awal. Sebuah instruksi diberikan pada gubernur setianya al-Mugerhira oleh Muawiya dengan semangat kebangkitan bagi kaum Umayyad: “Jangan bosan mengganyang dan menghina Ali dan menyerukan Kemurahan hati Tuhan bagi Usman, menjelekkan sahabat-sahabat Ali, mengganti mereka dan jangan dengarkan mereka (apa yang mereka katakan dan nyatakan sebagai hadis), jangan memuji-muji mereka yangmenjelekkan klan Usman, jangan dekat dengan mereka dan mendengarkan mereka.” Ini adalah pernyataan resmi untuk membangkitkan dan menyebarkan hadis yang menentang Ali dan menahan dan menghilangkan hadis-hadis yang berpihak pada Ali.. Kaum Umayyad dan para pengikut politik mereka tidak keberatan mengarang kebohongan demikian, kebohongan dalam bentuk agama yang harusnya dianggap keramat, dan mereka hanya menaruh perhatian untuk mencari alim ulama yang siap dan mau menutupi kepalsuan-kepalsuan tersebut. Dan mereka tidak pernah kekurangan alim ulama yang demikian.[13]

Hadis mudah dikarang bahkan untuk rincian ritualistik paling sepele sekalipun. Kecenderungan demikian termasuk memberangus atau menghilangkan hadis-hadis yang sudah ada tapi seakan memihak pada dinasti lawan. Dibawah pemerintahan Abbasid karang mengarang hadis ini bertambah menggila, dengan tujuan utama membuktikan legitimasi klan mereka dari klan lawan. Contohnya, sang Nabi dibilang pernah mengatakan pada Abu Talib, ayahnya Ali, yang sedang duduk di neraka: “Mungkin perantaraanku akan berguna baginya pada hari kiamat agar dia bisa dipindahkan ke dalam kolam api yang dalamnya hanya semata kaki tapi masih cukup panas utk membakar otaknya.”

Otomatis hadis ini dilawan oleh para teolog kelompok Ali dengan mengarang sejumlah hadis lain yang menceritakan kemuliaan dari Abu Talib, semuanya itu katanya diucapkan oleh sang Nabi. Malah, seperti Goldziher tunjukkan, diantara faksi lawan “Pemakaian menyimpang hadis-hadis tendensius ini malah menjadi makin biasa oleh mereka dibanding oleh pemerintahan resmi yang berkuasa.”[14] Akhirnya yang beruntung adalah para penulis/pengarang/periwayat kisah hadis, mereka hidup makmur dengan menciptakan hadis-hadis yang menyenangkan pihak tertentu, yang oleh masyarakat pengikutnya dilahap dengan lapar, tanpa daya kritis. Untuk menarik perhatian masyarakat para periwayat hadis ini tak segan-segan memulai dari nol. “Cara penanganan hadis dengan cepat merosot jadi mirip perdagangan belaka… Perjalanan-perjalanan (untuk mencari hadis) dilakukan oleh orang-orang tamak yang mengaku berhasil mendapatkan sebuah sumber hadis, dan dengan munculnya kebutuhan hadis yang begitu besar saat itu muncul juga hasrat mereka untuk dibayar uang bagi tiap hadis yang mereka berikan.”[15]

Tentu saja banyak pula muslim yang sadar akan banyaknya pemalsuan ini. Tapi bahkan yang disebut-sebut dengan enam kumpulan Hadis Sahih karya al-Bukhari dan yang lain-lain juga ternyata tidaklah sebegitu teliti seperti yang diharapkan. Ke-enam-nya memiliki kriteria yang berbeda-beda untuk memilah-milah sebuah hadis sebagai sahih atau tidak: ada yang lebih liberal dalam pemilihannya, yang lain malah lebih seenak perutnya. Lalu ada lagi masalah keaslian dari teks-teks para pengumpul hadis ini. Contoh, dalam satu waktu pernah ada satu lusin hadis Bukhari yang berbeda mengenai hal yang sama, dan diluar dari perbedaan-perbedaan ini, terdapat penyisipan-penyisipan yang sepertinya disengaja. Goldziher memperingatkan, “salah sekali jika berpikir bahwa otoritas kanonikal dari dua hadis (Bukhari dan Muslim) itu didapatkan karena kebenaran yang sudah tak dipersoalkan lagi dalam kontek-kontek tulisan mereka dan karena hasil dari penyelidikan para alim ulama.”[16] Bahkan kritik pada abad 10 menunjukkan adanya kelemahan pada dua ratus hadis yang merupakan karya dari Muslim dan Bukhari.

Argumen Goldziher ini diteruskan penyidikannya hampir 60 tahun kemudian oleh para ahli Islam besar, Joseph Schacht, yang karyanya dalam hukum Islam dianggap sebagai karya klasik dibidang Studi Islamik. Kesimpulan Schacht bahkan lebih radikal dan meresahkan, implikasi penuh dari kesimpulan-kesimpulan ini sampai sekarang belum lagi reda.

Humphrey[17] merangkum kesimpulan Schacht sebagai berikut:
1) bahwa cara para isnad (periwayat) mengacu pada ucapan sang nabi hanya dimulai secara luas kala Revolusi Abbasid – yakni pertengahan abad 8;

2) bahwa ironisnya, semakin teliti dan benar secara formal sang isnad terlihat, semakin mungkin keterangannya itu palsu. Secara umum dia menyimpulkan, tidak ada satupun hadis yang bisa diandalkan yang bisa dianggap benar-benar berasal dari sang nabi, meski beberapa diantaranya mungkin berakar pada ajaran- ajaran dia. Dan meski Schacht mengabdikan hanya sedikit saja halaman karyanya untuk laporan-laporan sejarah tentang kekalifahan awal, tapi dia secara jelas menyatakan bahwa “kecaman yang sama seharusnya diterapkan juga pada mereka.” Argumen Schacht didukung oleh banyak referensi hebat yang tidak mudah untuk diabaikan.

Schacht[18] sendiri merangkum tesisnya sebagai berikut:
Secara umum diakui bahwa kritik terhadap hadis seperti yang dilakukan para scholar Muhammadan itu belumlah cukup dan meski banyak yang palsu telah tersingkirkan karenanya tapi kumpulan hadis klasik juga banyak berisi hadis yang kemungkinan tidak sahih. Semua usaha- usaha untuk menarik hadis-hadis yang mengkontradiksi hadis sahih lainnya dengan memakai ‘intuisi sejarah’ telah gagal. Goldziher, dalam karya fundamental lainnya bukan hanya menyuarakan keraguannya akan hadis yang terdapat dalam kumpulan klasik (seperti Bukhari, Muslim dan lain-lain), tapi juga menunjukkan secara positif bahwa kebanyakan sebagian besar hadis yang didokumentasikan bukanlah berasal dari jaman yang sesuai dengan yang diceritakan hadis tersebut, tapi dari tahap lanjutan pengembangan doktrin diabad pertama Islam. Penemuan brillian ini menjadi batu penjuru semua penyelidikan-penyelidikan serius lainnya. Buku ini (karya Schacht) akan memastikan kesimpulan Goldziher tersebut, dan malah melebihi itu dalam hal: Banyak hadis klasik dan kumpulan hadis lainnya disebarkan hanya setelah jaman Shafi’I (Shafi’I adalah pendiri dari sekolah hukum penting yang memakai namanya; dia meninggal tahun 820M); Lembaga resmi pertama tentang hadis sahih yang berasal dari pertengahan abad kedua Hijriah (abad 8 M), lembaga ini menjadi lawan dari hadis-hadis para sahabat nabi dan otoritas lain yang sedikit lebih awal kemunculannya, dan dari tradisi- tradisi yang hidup dalam sekolah-sekolah hukum tua; hadis-hadis ini dihadapkan pada proses perkembangan yang sama dan juga dianggap sama setingkat; para isnadnya menunjukkan kecenderungan untuk mundur tahun dalam periwayatannya dan mengklaim otoritas yang lebih tinggi lagi sampai mereka mentok pada sang nabi; bukti-bukti hadis legal ini ternyata hanya membawa kita sampai ke tahun 100H (718M) saja.

Schacht membuktikan bahwa sebuah hadis sesungguhnya tidak ada pada waktu tertentu, contoh, dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak digunakan sebagai argumen hukum dalam sebuah diskusi yang terjadi diwaktu tersebut yang mana seharusnya disebutkan jika hadis itu memang benar-benar ada. Bagi Schacht setiap hadis legal dari nabi harus dianggap sebagai tidak sah dan berupa ungkapan karangan dari sebuah doktrin legal yang dirumuskan diwaktu kemudian saja: “Kita tidak akan menemukan hadis legal dari sang nabi yang bisa secara positif dianggap sahih.”[19]
Hadis-hadis dibentuk secara polemik untuk menyanggah doktrin atau praktek berlawanan ; Schacht menyebut hadis-hadis ini sebagai “hadis tandingan”. Doktrin-doktrin yang dipertentangkan sering dikembalikan pada otoritas yang lebih tinggi: “Hadis-hadis dari penerus sang nabi diakui menjadi hadis-hadis dari para sahabat nabi, dan hadis-hadis dari sahabat diakui menjadi hadis dari sang nabi sendiri.” Detil dari kehidupan sang nabi diciptakan untuk mendukung doktrin-doktrin legal ini.

Schacht lalu mengkritik para isnad “mereka sering mengumpulkannya secara sembarangan. Setiap kelompok perwakilan yang doktrinnya seharusnya diproyeksikan kembali pada otoritas lama diambil secara acak dan dipasangkan pada sang isnadnya. Dengan begitu kita temukan sejumlah nama-nama lain yang sebenarnya isnad yang sama.”

Schacht menunjukkan bahwa dimulainya hukum Islamik tidaklah dapat ditelusur mundur ke dalam tradisi Islamik lebih jauh dari satu abad setelah kematian sang nabi.”[20] Hukum Islam tidak langsung berasal dari Quran tapi berupa hasil pengembangan dari praktek yang populer dan administratif di bawah kekuasaan Ummayad, dan ‘praktek-praktek ini sering menyimpang niatnya dari perkataan Quran, bahkan kadang dari perkataan Quran yang paling jelas sekalipun.” Norma-norma yang dihasilkan dari Quran dikenalkan ke dalam hukum Islam pada tahap kedua.

Sekelompok scholar yakin kekuatan esensial dari analisis Schacht dan meneruskan menganalisa sepenuhnya implikasi dari argumen Schacht ini. Yang pertama dari para scholar (akademisi) ini adalah John Wansbrough, yang dalam dua karya pentingnya, meski termasuk berat, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretaion (1977) dan The Sectarian Milieu: Content and Composition of Islamic Salvation History (1978), menunjukkan bahwa Quran dan Hadis menumbuhkan kontroversi sektarian dalam perioda yang panjang – mungkin selama dua abad – lalu diproyeksikan kembali ke dalam sebuah titik asal Arab yang direkayasa.[21] Dia lalu menyatakan bahwa Islam muncul hanya ketika berhubungan dengan dan dibawah pengaruh rabbinikal Yudaisme. “Bahwa doktrin Islam secara umum dan bahkan figur Muhammad sendiri, dibentuk dalam sebuah prototip Rabbi Yahudi.” “Berjalan dari kesimpulan ini, buku The Sectarian Milieu menganalisa sejarah Islamik awal – atau bisa disebut mitos-mitos yang mendasari sejarahnya – sebagai sebuah perwujudan ‘sejarah keselamatan’ ala Perjanjian Lama.

Sekali lagi, untuk mengerti argumennya Wansbrough kita perlu melihat kisah hadis pengumpulan Quran. Masalahnya adalah tidak hanya ada satu kisah/hadis tapi ada beberapa kisah yang tidak sama.

Menurut satu hadis ketika Abu Bakar menjadi Kalifah (632-634), Umar, yang lalu menjadi Kalifah menggantikan Abu Bakar, khawatir akan banyaknya muslim yang hafal Quran telah terbunuh dalam peperangan Yamama, Arab Tengah. Ada bahaya sebagian dari Quran akan hilang kecuali jika dilakukan pengumpulan ayat-ayat Quran sebelum mereka yang hafal terbunuh semuanya. Abu Bakar akhirnya memberi ijin untuk proyek ini dan meminta Zayd ibn Thabit, bekas sekretaris sang Nabi untuk memimpin tugas ini. Lalu Zaid mengumpulkan Quran “mulai dari potongan papirus, batu, daun korma, kulit binatang, kayu dan lain lain, juga dari hafalan orang-orang.” Setelah selesai lengkap Quran itu diserahkan pada Abu Bakar dan ketika meninggal diserahkan pada Umar, ketika Umar meninggal diserahkan pada anak perempuannya, Hafsa.
Tapi, ada versi-versi berbeda dari kisah ini – sebagian mengatakan Umarlah yang berjasa mengumpulkan Quran, yang lain mengatakan Ali, kalifah ke-empat, yang berjasa. Lagipula tidak ada bukti meyakinkan bahwa mereka yang meninggal itu benar-benar hafal Quran. Juga sepertinya tidak mungkin dalam waktu sesingkat itu (dua tahun saja) tugas sesulit dan sepenting itu bisa diselesaikan. Orang harusnya mengharap pengumpulan demikian punya semacam Perintah atau Otoritas resmi, tapi tidak kita temukan perintah atau otoritas semacam itu dicantumkan dalam Quran versi Abu Bakar. Malah pada provinsi yang berbeda kumpulan Quran versi lain juga dianggap resmi. Sepertinya tidak mungkin sebuah Quran resmi akan diberikan pada anak perempuan Umar untuk disimpan. Sangat mungkin kisah pengumpulan Quran dibawah kekuasaan Abu Bakar ini hanyalah karangan belaka dan disebarkan oleh musuh-musuh kalifah ketiga, Usman, untuk menyingkirkan sebagian kejayaan Usman karena telah berhasil mengumpulkan kumpulan Quran terlengkap untuk pertama kali.
Menurut hadis, langkah selanjutnya diambil di bawah kepemimpinan Usman (644-656). Salah seorang jendral Usman meminta sang kalifah untuk membuat kumpulan Quran karena perselisihan serius telah terjadi diantara pasukan beda provinsi mengenai pembacaan yang benar dari Quran. Usman menunjuk Zayd ibn Thabit untuk menyiapkan kitab resmi tersebut. Zayd dengan teliti meneliti Quran, membandingkan versinya dengan ‘peninggalan’ yang dimiliki anak perempuannya Umar; dan seperti telah diperintahkan, ketika menemui kesulitan dalam hal pembacaan, Zayd memakai dialek Quraish, suku sang nabi. Copy-an dari versi baru ini, yang mestinya telah selesai antara tahun 650 dan 656 (tahun kematian Usman), dikirim ke Kufa, Basra, Damascus, dan mungkin juga ke Mekah; dan tentu saja satu lagi disimpan di Medina. Semua versi-verai lain diperintahkan untuk dihancurkan. Kejadian ini juga tidak lepas dari kritik. Kita tidak yakin akan ‘peninggalan’ yang Hafsa, anak perempuan Umar, punyai. Jumlah orang yang bekerja dalam proyek ini juga berbeda-beda; bahasa Arab yang ditemukan dalam Quran bukanlah sebuah bahasa dialek, dan seterusnya.
Meski demikian, versi kisah terakhir inilah yang bertahan, tapi seperti Michael Cook nyatakan, “pilihannya berubah-ubah; yang benar mungkin ada tersisip diantara banyak kisah-kisah itu, atau bisa jadi kesemua kisah itu tidaklah benar”.[22]
Bagi muslim ortodoks saat ini, Quran yang ada adalah yang ditetapkan dibawah pemerintahan Usman abad ke-7. “Muslim ortodoks percaya bahwa Qurannya Usman ini berisi semua wahyu yang disampaikan dan dipelihara tanpa perubahan atau variasi apapun dan bahwa Quran Usman ini diterima secara universal sejak hari penyebarannya. Sikap muslim ortodoks ini termotivasi oleh faktor dogmatis semata; tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah.”[23]

Ini membawa kita pada penolakan Wansbrough akan hadis-hadis sebelumnya. Wansbrough menunjukkan bahwa jauh sebelum dipastikan diabad 7, teks pasti dari Quran belum lagi ada sampai akhir abad 9. Islam yang asli sepenuhnya buatan Arab sangatlah tak mungkin; orang-orang Arab secara perlahan memformulasikan dalil-dalil mereka seiring kontak mereka dengan Yudaisme di luar Hijaz (Arab tengah, terdiri dari Mekah dan Medinah).

Kiasan-kiasan Quran mengisyaratkan terbiasanya mereka dengan materi-materi naratif ayat-ayat Yudeo-Kristen, kiasan-kiasan yang belumlah begitu terformulasikan seperti pada ayat-ayat acuan mereka. Dilihat secara keseluruhan, dari jumlah referensi, pengulangan, penggunaan kaidah retoris dan gaya polemisnya, semua mengesankan: adanya sebuah atmosfir sektarian yang kuat yang mana sebuah kumpulan ayat-ayat yang sudah dikenal dipaksakan kedalam sebuah pelayanan doktrin yang belum begitu dikenal.[24]

Di tempat lain Wansbrough mengatakan, “tantangan untuk menghasilkan ayat yang lebih baik atau sama dengan itu, yang diungkapkan lima kali dalam Quran, hanya dapat dijelaskan dalam konteks polemik Yahudi”.[25]

Scholar lebih awal seperti Torrey, yang mengakui kebenaran pencontekan Quran dari literatur rabbinic menyimpulkan tentang populasi Yahudi di Hijaz (Arab Tengah). Tapi seperti kata Wansbrough, “referensi dari literatur Rabbinic bagi Arabia sangat sedikit sekali jasanya untuk tujuan rekonstruksi sejarah, dan khususnya untuk daerah Hijaz di abad 6 dan 7.” [26]

Banyak dipengaruhi kisah-kisah rabbinic, komunitas muslim awal mengambil Musa sebagai suri tauladan dan kemudian gambaran Muhammad muncul – tapi hanya secara pelahan dan sebagai tanggapan akan keperluan dari sebuah komunitas religius. Kebutuhan dan hasrat menggebu untuk menetapkan Muhammad sebagai nabi dalam model mosaic membuatnya harus mempunyai kitab suci, yang akan dipandang sebagai kesaksian dari kenabiannya. Perkembangan pelahan lain adalah munculnya ide Islam asli buatan Arab. Untuk ini, ada penguraian konsep bahasa suci, lingua sacra, bahasa Arab. Quran katanya diturunkan dari Tuhan dalam bahasa Arab murni. Sangat penting jika abad ke-9 juga punya kumpulan puisi-puisi berbahasa Arab: “Sikap menyelewengkan materi-materi ini oleh para pengumpul untuk mendukung semua argumen yang muncul tidak pernah secara berhasil disembunyikan secara sempurna.”[27] Dengan ini para ahli bahasa muslim mampu memberi tanggal yang lebih awal pada, contoh, sebuah puisi yang dianggap berasal dari Nabigha Jadi, sebuah puisi pra-Islam, hanya agar “menyediakan sebuah teks contoh pra Islam untuk dibandingkan dengan konstruksi bahasa Quran” Tujuan menampilkan puisi-puisi pra-Islam ada dua: pertama, memberi kesan kuno pada ayat suci mereka, jadi agar bisa mendorong dan menempatkan ayat-ayat keramat ini ke periode-periode awal, dan dengan demikian, memberi otentisitas yang lebih besar pada sebuah teks yang sebenarnya hasil karangan, bersama-sama dengan hadis-hadis pendukungnya diabad ke-9. Kedua, hal itu memberi rasa (kesan) Arab Spesial, setting Arabia bagi agama mereka, membuatnya berbeda dari Yudaisme dan Kristen. Tradisi tafsir juga sama-sama fiksinya dan punya satu tujuan saja yaitu untuk mendemonstrasikan kesan ‘buatan Hijazi’ pada Islam. Wansbrough memberi bukti-bukti negatif untuk menunjukkan bahwa Quran belum mencapai bentuk pastinya (fix) sebelum abad-9.

Studi Schacht akan perkembangan awal doktrin legal didalam sebuah masyarakat menunjukkan bahwa dengan sedikit perkecualian, ilmu hukum muslim bukan berasal dari ayat Quran. Ditambahkan juga perkecualian-pengecualian itu sendiri merupakan bukti kuat akan adanya norma-norma, dan lebih jauh ditelaah bahkan ditempat dimana doktrin itu diakui dihasilkan dari ayat tertentu, tetap saja bukan menjadi bukti akan adanya ayat-ayat sumber itu lebih dulu. Munculnya hukum yang berasal dari ayat-ayat adalah sebuah fenomena di abad ke-9. Bukti-bukti negatif yang sama juga tidak ada dalam referensi apapun untuk Quran dalam Fiqih Akbar I.[28]

Fiqih Akbar I adalah sebuah dokumen, bertanggal pertengahan abad ke-8, yang menjadi semacam pernyataan dalil muslim dalam masalah sekte-sekte. Dengan demikian Fiqih Akbar I mewakili pandangan-pandangan ortodoks akan hal-hal yang kemudian menjadi pertanyaan-pertanyaan dogmatis yang menonjol. Sepertinya tak terpikirkan, Quran sudah ada tapi tidak disebut sebagai referensi dalam tulisan-tulisan saat itu.
Wansbrough menghadapkan Quran pada analisa teknis tinggi dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa Quran tidaklah dengan sengaja diedit oleh segelintir orang, tapi semata ‘hanya produk perkembangan organis dari tradisi-tradisi yang sumbernya independen selama periode panjang penyampaiannya.”

Wansbrough sudah mencibir gagasan bahwa Quran adalah satu- satunya harapan untuk mendapatkan sejarah asli dari sang nabi, ini ide dari Jeffery:[29] “Catatan yang muncul dominan untuk ini adalah “kembali ke Quran”. Untuk menjadi dasar dalam membuat biografi yang kritis, hadis benar-benar tak bisa diandalkan; Dalam Quran sajalah kita bisa mengatakan punya dasar yang cukup kuat.”

Tapi seperti ditunjukkan Wansbrough: “peran Quran dalam menggambarkan seorang nabi Arab tipis sekali; hanya berupa ‘bukti’ komunikasi ilahi tapi bukan laporan dari fakta kondisinya. Pemikiran data biografi dalam Quran tergantung pada prinsip-prinsip tafsir yang dihasilkan dari materi luar untuk ayat-ayat suci itu sendiri.” [30]

Sekelompok scholar yang dipengaruhi Wansbrough mengambil pendekatan lebih radikal: mereka menolak seluruh sejarah Islam awal dari versi Islam. Michael Cook, Patricia Crone dan Martin Hinds menulis antara tahun 1977 dan 1987.

Menganggap seluruh sejarah versi islam sampai jaman Abd al-Malik (685-705) adalah rekayasa belakangan belaka, dan rekonstruksi Penaklukan Arab serta terbentuknya kekalifahan sebagai sebuah gerakan semenanjung Arab yang terilhami oleh Messianisme Yahudi yang mencoba merebut kembali tanah perjanjian. Dengan pengertian ini, Islam muncul hanya sebagai sebuah agama otonomi dan budaya dalam proses panjang perjuangan mendapatkan identitas diantara orang-orang berbeda yang tersatukan oleh penaklukan-penaklukan, yaitu: Jacobite Syrian, Nestorian, Aramanean di Irak, Koptik, Yahudi dan (terakhir) Semenanjung Arab.[31]

Sebelum melihat argumen mereka secara rinci, sebelum kita menilai segi rasionalitasnya, kita perlu tahu kisah kehidupan Muhammad dan bangkitnya Islam. Muhammad lahir mungkin tahun 570 M di Mekah, dalam sebuah keluarga yang dulunya pernah kuat dan dihormati, tapi jatuh ke dalam masa-masa sulit yaitu Keluarga Hashim dari suku Quraish. Muhammad tumbuh besar sebagai anak yatim dan dibesarkan oleh pamannya Abu Talib, dengan siapa Muhammad disebutkan bepergian dagang ke Syria. Dia mulai bekerja sebagai agen dagang bagi seorang janda kaya, Khadija. Perusahaan itu makmur dan akhirnya dia menikahi sang janda.

Ketika bertapa di gua Hira, sebagai kebiasaannya, Muhammad mendapat penampakan, yang pada akhirnya meyakinkan dia bahwa Tuhan khusus mengangkat dia sebagai utusannya. Tahun 610M, dia menceritakan pengalamannya ini pada kerabat dan teman dekatnya dan tiga tahun kemudian dia diperintahkan oleh auwloh-nya untuk berbicara secara lebih terbuka pada umum. Kaum Berhala Mekah masih mentoleransi dia sampai dia mulai menghina dewa-dewa mereka. Mekah saat itu merupakan pusat dagang yang maju, mendapatkan kontrol banyak rute dagang. Jadi perlawanan terhadap Muhammad datang dari pedagang kaya yang takut akan kesuksesan Muhammad dan benci akan kritik-kritiknya mengenai gaya hidup mereka. Muhammad sepertinya mau berkompromi dengan monoteismenya, pertama dia berdamai dengan orang Mekah. Inilah kejadian yang diceritakan kembali dalam novel The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan, Salman Rusdhie), dan karena kisah itu berasal dari sumber-sumber Muslim yang bisa diandalkan (al-Tabari, Ibn Sa’d), Muslim tidak bisa menyalahkan kaum “kafir” karena hal ini.

Sementara Muhammad masih berharap untuk berkompromi dengan para pedagang Mekah dia menerima sebuah wahyu yang berkata bahwa berhala sembahan orang Mekah yang paling favorit yaitu al-Lat, al- Uzza dan al-Manat bisa dijadikan sebagai dewa/tuhan lain yang intersesi (perantaraannya) berpengaruh pada Auwlohnya. Tapi segera Muhammad menyadari bahwa mengeluarkan ayat-ayat ini sebagai tindakan yang salah (kemudian muhammad bilang bahwa ayat-ayat itu adalah berasal dari setan) dan menerima wahyu berikutnya yang mengganti (mengoreksi )ayat-ayat setan tersebut, tapi ayat itu tetap menyertakan nama para dewi itu, hanya menambahkan bahwa tidak adil Tuhan punya anak perempuan sementara manusia punya anak lelaki (Surah 53.19-22); karena nilai anak lelaki lebih tinggi daripada anak perempuan.

Selama perioda ini para pedagang kaya Mekah mungkin diboikot oleh Muhammad dan seluruh keluarganya. Setelah kematian pamannya Abu Talib dan istrinya Khadija, posisi Muhammad makin tidak aman lagi, dia berusaha membuktikan kenabian dirinya di Taif dengan tanpa hasil.

----------------
[1] Hurgronje Snouck, C. Mohammedanism. New York, 1916. Hal.16
[2] Burton, John. The Collection of the Quran, Cambridge, 1977, hal.225 [3] Hurgronje Snouck, C. Mohammedanism. New York, 1916. Hal.23
[4] Humphreys, R. S. Islamic History, A Framework for Inquiry. Princeton, 1991. hal.82 [5] Hurgronje Snouck, C. Mohammedanism. New York, 1916. Hal.24
[6] Ibid., hal.25
[7] Smirnov, N.A. Russia and Islam. London, 1984. Hal.48 [8] Ibid., hal.48-49
[9] Humphreys, R. S. Islamic History, A Framework for Inquiry. Princeton, 1991. hal.83
[10] Ibid., hal.83
[11] Goldziher, Ignaz. Muslim Studies. 2 vol. terjemahan C.R. Barber dan S.M. Stern. London, 1967-71. Hal.19 Vol.2
[12] Ibid., hal.43, Vol.2
[13] Ibid., hal.44 [14] Ibid., hal.108 [15] Ibid., hal.169 [16] Ibid., hal.236
[17] Humphreys, R. S. Islamic History, A Framework for Inquiry. Princeton, 1991. hal.83
[18] Schacht, Joseph. “Law and Justice.” Dalam The Cambridge History of Islam. 4 vols. Cambridge, 1970. Hal. 4-5
[19] Ibid., hal.149-163
[20] Crone, P. Roman, Provincial and Islamic Law? Cambridge, 1987. Hal.7
[21] Humphreys, R. S. Islamic History, A Framework for Inquiry. Princeton, 1991. hal.84
[22] Cook, M. Muhammad. Oxford, 1983. hal. 68
[23] Artikel Adams “Quran” dalam Encyclopaedia of Religion. [24] Wansbrough, J. Quranic Studies. Oxford, 1977. Hal. 56 [25] Ibid., hal.79
[26] Ibid., hal.51 [27] Ibid., hal.97 [28] Ibid., hal.44
[29] Jeffery, Arthur. “The Quest of the Historical Mohammed.” Dalam Muslim World, vol.16, no.4, October 1926. Hal.342
[30] Wansbrough, J. Quranic Studies. Oxford, 1977. Hal.56
[31] Humphreys, R. S. Islamic History, A Framework for Inquiry. Princeton, 1991. hal.84-85


Hijrah ke Medina, 622M
Muhammad bertemu sekelompok orang dari Oasis di Yathrib (atau belakangan dinamakan Medinah), yang sadar bahwa Muhammad mungkin bisa menolong keluar masalah politis domestik mereka. Mereka belajar Islam dari Muhammad dan kembali ke Medinah untuk mendakwahkan agama baru ini. Tahun 622, sekelompok besar orang Medinah menyatakan dukungannya dan setuju memberi dia perlindungan. Muhammad mendorong para pendukungnya yang di Mekah untuk pindah ke Medinah, sementara dia sendiri jadi orang terakhir yang pindah. Migrasi nabi ini (atau Hijrah) belakangan diambil sebagai titik awal kronologi Muslim. (Menurut hadis Hijrah terjadi bulan September 622; tapi era muslim dimulai pada awal tahun Arab dimana Hijrah terjadi, yakni 16 Juli 622).

Medinah disaat kedatangan Muhammad dihuni oleh delapan suku besar orang Arab dan tiga suku Yahudi. Selama bertahun-tahun terjadi perang saudara antar suku, puncaknya adalah peperangan besar tahun 618, dimana banyak yang terbunuh. Dengan tujuan untuk menciptakan kestabilan politik, Muhammad menetapkan sebuah komunitas atau ummah yang terdiri dari para pengikut dari Mekah dan pengikut yang orang-orang Medinah. Semua masalah-masalah penting dihadapkan padanya dan Auwloh. Semua peraturan baru terdapat dalam sebuah dokumen yang disebut Konstitusi Medina, dan seperti kata Cook, “[Salah satu minat utama] dari masing-masing pihak dalam dokumen itu adalah untuk berperang.”

Setelah enam bulan berada di Medinah, Muhammad mulai mengirim pasukan-pasukan rampoknya untuk menyerang dan merampas karavan- karavan Mekah yang menuju Siria. Pertamanya gagal lalu pada kali ke-empat begundal-begundal Muhammad akhirnya mampu menyergap sebuah karavan Mekah dengan cara menyerangnya dibulan suci sambil berpura-pura menjadi orang yang akan melakukan ibadah haji dan bisa menipu para penumpang karavan. Muhammad mengambil seperlima harta jarahan. Mulanya orang-orang Medina kaget dengan dinodainya bulan suci itu, tapi setelah “wahyu” ajaib diturunkan untuk membenarkan tindakan perampokan itu akhirnya salah seorang pemimpin mereka memberi Muhammad dukungan malah dia sendiri (pemimpin tersebut) ikut ambil bagian dalam perampokan-perampokan selanjutnya.

Pada episode ini hubungan Muhammad dengan orang Yahudi menjadi makin tegang. Awalnya dia berharap bisa diterima sebagai nabi mereka, karena dia selalu menekankan bahwa pesan-pesannya tidak beda dengan yang diberikan oleh Musa; lagipula dia telah mengambil banyak praktek-praktek orang Yahudi. Tapi ketika orang Yahudi menolak mengakui dia sebagai nabi sejati, Muhammad mulai mengembangkan gagasan agama Abraham dan melepaskan diri dari Yudaisme dan KeKristenan. Islam, akunya, menjadi agama yang bebas yang jauh lebih superior dari kedua dalil agama monoteistik itu. Pada akhirnya, orang Yahudi kalau tidak diusir dari Medina maka dibantai habis.

Muhammad mengetahui ada Karavan Mekah membawa harta banyak yang akan melintas dan dia memutuskan untuk menyerangnya di Badar. Orang Mekah tahu juga rencana Muhammad ini dan mengumpulkan pasukan yang tangguh untuk memberi pelajaran pada para preman muslim perampok itu. Meski orang-orang muslim kaget ketika menghadapi musuh yang banyak bukannya cuma karavan dagang biasa, tapi mereka disemangati oleh Auwloh dan nabinya serta 1000 malaikat dan memenangkan perang (Perampokan) Badar di tahun 624. Orang-orang yang tertangkap dijadikan tawanan, dua orang dieksekusi atas perintah Muhammad – salah seorang bukan lain adalah al-Nadr, yang pernah mengalahkan Muhammad dengan bercerita (berkisah atau berpuisi) lebih baik darinya di Mekah.
Tahun berikutnya, orang-orang Mekah dipimpin Abu Sufyan berhasil membalaskan dendam ketika mengalahkan pasukan Muslim di perang Uhud. Muhammad masih melanjutkan perampokannya untuk dua tahun kedepan, sementara orang-orang Mekah menyiapkan serangan habis- habisan. Tahun 627, orang Mekah mengepung muslim selama dua minggu tapi kemudian mundur karena tidak mampu menembus penghalang berupa parit-parit yang digali oleh para muslim atas saran Salman si orang Persia. Ketika orang Mekah mundur, Muhammad memutuskan untuk menyerang suku Yahudi yang tersisa, Bani Qurayza, yang akhirnya menyerah. Para lelaki suku ini semuanya dihukum mati (konon sekitar 900 orang), dan perempuan serta anak-anak dijadikan pemuas seks, budak atau dijual.
Tahun 628, Muhammad menandatangani Perjanjian al-Hudaybiya, dimana para muslim diijinkan untuk melakukan ibadah haji pada tahun berikutnya. Saat ini Muhammad sudah cukup berkuasa untuk mencoba mengambil alih Mekah. Ini dia lakukan tahun 630, dengan sedikit pertumpahan darah. Dia mengkonsolidasikan kekuasaannya di Arab Tengah, dan akhirnya seluruh suku Arab menyerah padanya.

Jelas jika kita baca dari hadis-hadis dituliskan bahwa sesaat sebelum kematiannya tahun 632, Muhammad sudah punya visi untuk memperluas kekuasaan dan pengaruhnya keluar Arab. Tahun 631, dia mengumpulkan pasukan yang luar biasa besar (tiga puluh ribu orang, sepuluh ribu kuda) untuk menyerang Romawi di Tabuk, kota antara Medinah dan Damaskus, tapi tak ada kelanjutannya. Sebagian pasukannya lalu dikirim ke Dumah, dimana Komandan Muslim bernama Khalid berhasil menundukkan suku Yahudi dan Kristen. Muhammad juga berencana untuk mengirim pasukannya ke dalam teritori Roma di Palestina, tapi rencana ini tidak pernah terealisasi karena kematian keburu menjemputnya tahun 632.

Selama duapuluh tiga tahun misi kenabiannya, Muhammad mengaku menerima wahyu langsung dari Tuhan, dimana “ritual-ritual dasar dan kewajiban-kewajiban Islam ditetapkan atau disempurnakan kemudian: Wudhu, sholat, zakat, puasa dan ibadah haji.” Wahyu-wahyu itu menyangkut masalah sehari-hari, hukum-hukum agama, waris, pernikahan, perceraian dan lain sebagainya.

Hadis-hadis tersebut tidak diterima oleh Cook, Crone dan Hind. Pada Risalahnya tentang Muhammad yang pendek tapi tajam dalam Seri Oxford Past Masters, Cook memberikan argumen-argumen kenapa menolak hadis-hadis biografi tersebut:
Hadis-hadis palsu banyak tersebar diantara scholar abad delapan, dan bagaimanapun juga hadis dari mulut ke mulut itulah yang digunakan oleh Ibn Ishaq serta orang-orang sejamannya. Tak ada satupun dari hadis ini yang bisa dipercaya. Kita malah yakin bahwa ada sejumlah hadis mengenai Dogma dan hukum yang disiapkan dengan serentetan para isnad oleh mereka yang menyebarkannya; sedang disaat yang sama kita punya banyak kontroversi abad delapan yang mempertanyakan apa boleh membuat hadis dari mulut ke mulut itu menjadi tulisan. Implikasi dari pemikiran akan keandalan sumber- sumber ini jelas bermakna negatif. Jika kita tidak dapat mempercayai rantai otoritas, kita tidak bisa lagi mengklaim punya kisah-kisah yang diriwayatkan terpisah dari saksi-saksi yang independen; dan jika pengetahuan akan kehidupan Muhammad disampaikan secara oral selama satu abad sebelumnya lalu dijadikan tulisan, maka kemungkinan materi-materi itu telah mengalami berbagai pengubahan.[32]
Cook lalu melirik pada sumber-sumber non muslim: Yunani, Syria dan Armenia. Dari sinilah gambaran yang tak disangka-sangka muncul. Meski tidak diragukan pernah ada orang bernama Muhammad, bahwa dia itu pernah menjadi pedagang, bahwa sesuatu yang penting terjadi tahun 622, dan bahwa “iman” Abraham menjadi pusat dari ajarannya, tidak ada indikasi bahwa karir Muhammad berkembang di Arab, tidak disebut-sebut tentang Mekah, dan Quran tidak muncul sampai tahun- tahun terakhir abad ke-7. Malah muncul dari bukti-bukti ini tentang para muslim yang sholat ke arah yang lebih jauh (berlawanan) dari arah Mekah; dg demikian pusat sesembahan mereka mestilah bukan Mekah. “Juga ketika kutipan Quran pertama muncul dalam sebuah koin dan prasasti dipenghujung abad ke-7, tulisan-tulisan itu berbeda dengan teks Quran sekarang. Ini menjadi teka-teki jika dilihat dari sudut pandang kemutlakan isi Quran, tapi fakta bahwa tulisan-tulisan itu muncul dalam sebuah konteks formal seperti ini tidaklah sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa teks-teks Quran itu tidak berubah setitikpun.”[33] Sumber Yunani yang pertama membicarakan Muhammad benar ada adalah yang berasal dari tahun 634, dua tahun setelah kematiannya (menurut hadis). Dimana ada kisah-kisah muslim yang menceritakan perpecahan Muhammad dengan orang-orang Yahudi,

Risalah Sejarah Armenia tahun 660 menjelaskan Muhammad sebagai pendiri komunitas yang terdiri dari kaum Ismail (Arab) dan Yahudi, dengan dasar keyakinan Abrahamis; persekutuan ini lalu berangkat dengan maksud untuk menyerang Palestina. Sumber Yunani tertua membuat pernyataan yang sensasional mengenai nabi yang muncul diantara orang-orang Saracen (Arab), yang mengaku sebagai Messiah (Yahudi) akan datang dan membicarakan orang-orang Yahudi yang bercampur dengan orang Saracen’, serta bahayanya jika jatuh ke tangan orang-orang Yahudi dan Saracen ini. Kita tidak bisa dengan mudah menolak bukti-bukti ini sebagai produk prasangka Kristen belaka, karena ada konfirmasinya dalam Hebrew Apocalypse (dokumen abad 8 yang disatukan dengan Apocalypse sebelumnya, dan dokumen ini sejaman dengan penaklukan tsb). Retaknya hubungan dengan orang Yahudi dituliskan dalam Risalah Sejarah Armenia segera setelah penaklukan Yerusalem oleh Arab.[34]

Meski Palestina juga punya peran cukup besar dalam sejarah muslim, tapi perannya telah kalah oleh Mekah ditahun kedua Hijriah ketika Muhammad mengubah arah kiblat muslim dari Yerusalem ke Mekah. Setelah itu Mekah-lah yang menjadi pusat segala aktivitas. Tapi dalam sumber-sumber non muslim, Palestina-lah fokus dari pergerakan mereka dan yang memberi mereka motif religius utk menaklukannya. Risalah Sejarah Armenia memberikan alasan-alasan masuk akal untuk ini: Muhammad memberitahu orang Arab bahwa sebagai keturunan Abraham lewat Ismail mereka juga punya klaim tanah Palestina seperti yang dijanjikan Tuhan pada Abraham dan keturunannya. Agamanya Abraham malah menjadi inti dari risalah Armenia mengenai khotbah- khotbah Muhammad, sama seperti yang ada dalam sumber-sumber muslim, tapi dalam risalah ini diberikan gambaran geografis yang berbeda.

Jika sumber-sumber luar punya tingkat kepentingan yang tepat, maka pastilah hadis-hadis secara serius menyimpangkan aspek-aspek penting dalam kehidupan Muhammad, dan bahkan integritas Quran sebagai pesan-pesan Muhammad juga jadi diragukan. Dalam sudut pandang apa yang dikatakan diatas tentang kondisi sumber-sumber muslim, kesimpulan demikian menjadi sah bagi saya; tapi cukup adil jika dikatakan juga bahwa ini tidak biasa terjadi pada saya.[35]

Cook menunjuk pada kemiripan kepercayaan tertentu Muslim dengan praktek-praktek agama dari orang Samaritan (didiskusikan nanti). Dia juga menunjuk bahwa gagasan fundamental Muhammad yang mengembangkan agamanya Abraham sebenarnya telah dilakukan dalam karya Apokripa Yahudi (bertanggal sekitar 140-100 SM) yang disebut “Book of Jubilees” dan mungkin ini yang mempengaruhi terbentuknya gagasan Islam. Kita juga punya bukti-bukti dari Sozomenus, seorang penulis Kristen abad ke-5 yang “merekonstruksi monoteisme primitif kaum Ismail yang mirip dengan yang dimiliki orang-orang Yahudi pada jamannya Musa”; dan dia berargumen dari kondisi saat itu bahwa Hukum-hukum Ismail mestilah “dirusak seiring berjalannya waktu dan dipengaruhi oleh kaum berhala tetangganya.”

Sozomenus menjelaskan bagaimana suku Arab tertentu yang mengetahui asal usul mereka dari Ismail dan mengadopsi ibadat-ibadat Yahudi.
Lagi-lagi mungkin ada pengaruh terhadap komunitas muslim dari sumber ini. Cook juga menunjuk kemiripan kisah Musa (Kitab Keluaran, dan lain-lain) dengan Hijrah Muslim (keluar dari Mekah). Dalam mesianisme Yahudi;
Karir dari seorang mesiah dipandang sebagai ‘melakukan kembali’ apa yang telah dilakukan oleh Musa; kunci peristiwa Musa adalah ‘keluaran atau exodus’, atau hijrah, dari penindasan ke gurun pasir, dimana sang messiah harus memimpin peperangan suci untuk mengambil kembali tanah perjanjian, Palestina. Melihat bukti sebelumnya yang mengaitkan Muhammad dengan orang Yahudi serta kepercayaan tentang Messiah-nya Yahudi disaat ketika penyerangan ke Palestina dimulai, normal sekali jika kita menganggap itu sebagai titik awal perebutan tanah perjanjian sebagai gagasan politisnya.

Cook dan Patricia Crone mengembangkan gagasan ini dalam karya brilian mereka, Hagarism: The Making of the Islamic World (1977). Sayangnya, mereka memakai gaya yang cukup sulit dari ‘master’ mereka yaitu Wansbrough, yang mana bisa membuat mundur pembaca yang paling berdedikasi sekalipun; seperti kata Humphrey, “argumen mereka disampaikan lewat serangkaian kiasan, metafora dan perumpamaan yang memusingkan kepala.”[36] Ringkasan yang diberikan dalam kesimpulannya Cook tentang “Muhammad” akan menolong para non ahli (orang awam) untuk bisa memahami argumen- argumen karya Cook dan Crone (CC) dalam “Hagarism”. Kita bisa menyusun tabel langkah-langkah argumen tersebut sebagai berikut:
1. Keraguan akan sejarah dalam Hadis Islam
2. Pemakaian sumber non muslim
3. Solidaritas dan permusuhan Judeo-Arab terhadap kristen
4. Penaklukan awal Muslim
5. Pelepasan Yudaisme
6. Melunaknya sikap terhadap kristen
7. Pengenalan doktrin dan pengaruh Samaritan
8. Penciptaan nabi Arab mengikuti model Musa
9. Penciptaan Altar (Kabah) Keramat
10. Penciptaan Ibukota Keramat (Kota Suci)

Akan tepat sekali jika dimulai dengan penjelasan tentang seringnya pemakaian sebutan “Hagar”, “Hagarisme” dan “Hagarine” oleh CC. Karena sebagian dari tesis mereka menjelaskan bahwa Islam hanya muncul belakangan saja setelah kontak pertama mereka dengan peradaban yang lebih tua di Palestina, Timur Dekat dan Timur Tengah, akan sangat tidak pantas jika memakai sebutan “Muslim,” “Islamik,” dan “Islam” untuk kaum arab awal beserta keyakinan mereka. Sangat mungkin komunitas Arab awalnya tidak menyebut diri mereka sebagai “Muslim” ketika mereka masih mengembangkan identitas religius mereka. Dilain pihak dokumen-dokumen dari Yunani dan Syria menyebut komunitas ini sebagai “Magaritai” dan “Mahgre” (atau “Mahgraye”). Mahgraye adalah keturunan Abraham lewat Hagar, dari sinilah muncul istilah “Hagarisme”. Tapi ada dimensi lain dari istilah ini; istilah Arab yang serupa adalah “Muhajirun” – Muhajirun adalah mereka yang ikut Hijrah, keluar dari Mekah. Maka “Mahgraye” dipandang sebagai orang-orang Hagarene yang ikut Hijrah ke tanah perjanjian; disini bergantung identitas awal dari keyakinan yang pada saatnya akan menjadi Islam.”[37]
Mengandalkan berbagai sumber non muslim, CC memunculkan kisah baru mengenai kebangkitan Islam, sebuah kisah yang tidak diterima oleh muslim manapun. Sumber-sumber muslim terlalu jauh jarak penulisan dengan peristiwanya, tidak bisa diandalkan dan tidak ada dasar eksternal yang kuat untuk menerima hadis-hadis Islam mereka. CC memulai dengan teks Yunani (bertanggal 634-636 SM), dimana disana inti dari pesan-pesan sang nabi muncul sebagai mesianisme Yudaic. Ada bukti bahwa orang Yahudi sendiri, yang tidak menjadi musuh muslim seperti yang dikisahkan hadis-hadis para muslim, menyambut dan menterjemahkan penaklukan Arab dalam terma messianic. Bukti “keakraban Judeo-Arab dilengkapi dengan indikasi adanya permusuhan terhadap KeKristenan.” Sebuah risalah Armenia lain yang ditulis tahun 660 juga mengkontradiksi hadis para muslim yang mengatakan Mekah adalah kota pusat religi di Arab ketika penaklukan Palestina tersebut terjadi; sebaliknya malah berorientasi ke pergerakan Palestina. Risalah yang sama menolong kita untuk mengerti bagaimana sang nabi “memberikan sebuah dasar pemikiran untuk keterlibatan Arab dalam perulangan peristiwa Mesiah Yudais. Dasar pemikiran ini terdiri dari dua keinginan dari arab keturunan Abraham yang dikenal sebagai kaum Ismail: satu, untuk mendapatkan hak akan Tanah Perjanjian, dua, untuk memberi mereka asal usul monoteis.”[38] Kita juga bisa melihat Hijrah Muslim tidak sebagai perpindahan dari Mekah ke Medinah (karena tidak ada sumber-sumber awal yang bisa teruji sejarahnya untuk hal ini), tapi sebagai perpindahan kaum Ismail (Arab) dari Arab ke tanah Perjanjian.
Orang-orang Arab tidak lama kemudian bertengkar dengan orang Yahudi, dan sikap mereka terhadap orang Kristen jadi melunak – mereka menganggap orang kristen secara politik kurang begitu mengancam dibanding orang Yahudi. Saat itu masih tetap ada kebutuhan untuk mengembangkan identitas religius yang positif, yang lalu mereka lakukan dengan memperluas agama Abraham secara penuh, memasukkan banyak praktek-praktek Pagan tapi di dalam naungan Abrahamik baru. Tapi mereka masih kekurangan struktur dasar religius agar bisa mandiri sebagai komunitas religius yang bebas tidak tergantung pada agama-agama lain. Disini mereka secara sangat besar terpengaruh oleh kaum Samaritan.

Asal usul Samaritan agak sedikit kabur. Mereka adalah orang Israel dari Palestina Tengah, umumnya dianggap sebagai keturunan dari mereka yang bercocok tanam di Samaria oleh raja-raja Assyria sekitar 722 SM. Keyakinan dari orang Samaritan adalah monoteisme Yahudi, tapi telah agak goncang oleh pengaruh Yudaisme dengan mengembangkan identitas religius mereka sendiri, mirip dengan yang dilakukan orang- orang Arab kemudian. Kitab orang Samaritan hanya Pentateuch, yang dianggap sebagai sumber utama dan standar untuk iman dan perbuatan.

Formula “Tidak ada Tuhan selain Yang Satu” adalah refrain dalam liturgi-liturgi Samaritan. Tema yang konstan dalam literatur-literatur mereka adalah Keesaan Tuhan dan Kemuliaan serta KemurahanNya. Kita bisa langsung memperhatikan kemiripan dengan proklamasi imannya Muslim, “Tidak ada Tuhan selain Auwloh.” Dan tentu saja Tauhid (Keesaan Tuhan) menjadi prinsip fundamental dari Islam. Formula Muslim “Bismillah” (Dalam Nama Auwloh) ada ditemukan dalam kitab Samaritan sebagai “Beshem”. Surah pembuka Quran yang dikenal sebagai al-Fatihah, pintu atau jalan, sering dianggap sebagai ringkasan pengakuan iman mereka. Doa orang Samaritan juga dianggap sebagai ringkasan pengakuan iman mereka, dimulai dengan kalimat: Amadti kamekha al-fatah rahmekha. “kami berdiri dihadapanMu pada pintu/jalan kemurahanMu.” Fatah adalah Fatiha, jalan atau pintu.[39]

Kitab suci Samaritan, Pentateuch dianggap perkataan Tuhan, wahyu Ilahi langsung dan sangat dimuliakan. Muhammad juga kelihatannya hanya tahu Pentateuch dan Mazmur dan tidak menunjukkan bahwa dia tahu tentang tulisan-tulisan lain, mengenai nabi-nabi atau sejarah lain.

Kaum Samaritan sangat memuliakan Musa, Musa adalah nabi yang kepadanya diturunkan Wahyu oleh Tuhan. Bagi Samaritan, Gunung Sinai (Gerizim) adalah pusat dari persembahan Yahweh; dan lebih jauh lagi dihubungkan dengan Adam, Seth dan Nuh, dan pengorbanan Ishak oleh Abraham. Harapan akan kedatangan Messiah juga menjadi salah satu pilar iman mereka – nama yang diberikan pada sang Messiah adalah sang Pemulih. Disini kita juga memperhatikan kesamaan gagasan muslim akan Imam Mahdi.


MUSA, KELUARAN (EXODUS), PENTATEUCH, GUNUNG SINAI (GERIZIM) DAN SHECHEM

Muhammad, Hijrah, Quran, Gunung Hira dan Mekah

Dibawah pengaruh Samaritan, orang Arab terus membentuk Muhammad seperti Musa sebagai pemimpin Keluaran (Exodus atau Hijrah), sebagai pembawa wahyu baru (Quran) yang diterima digunung (Arab) keramat, tempat Gua Hira berada. Yang belum hanya menyusun buku keramatnya (kitab sucinya). CC menunjuk hadis tentang Quran dijaman sebelum Usman (Kalifah ketiga setelah kematian Muhammad) menunjuk satu Quran, dimana Quran berupa banyak versi. Kita punya kesaksian dari seorang rahib Kristen yang membedakan Quran dengan surah Al-Baqarah dan keduanya dia anggap sebagai sumber-sumber hukum. Dalam dokumen lain dikatakan bahwa Hajjaj (661-714), gubernur Irak, telah mengumpulkan dan menghancurkan semua tulisan-tulisan para muslim awal. Lalu, sesuai dengan penuturan Wansbrough, CC menyimpulkan bahwa Quran “sangat-sangat kurang dalam struktur keseluruhan, sering samar dan ngawur (tak bertalian), baik dalam hal bahasa maupun isi, materi-materi yang harusnya saling berhubungan terasa asal saja dan ada pengulangan-pengulangan ayat dalam banyak versi. Dengan dasar ini dapat ditetapkan pendapat yang masuk akal bahwa Quran adalah hasil dari editan materi-materi yang tidak sempurna dan basi dari hadis-hadis yang banyak bertebaran.” [40]

Kaum Samaritan menolak kesucian Yerusalem dan menggantinya dengan pusat sembahan Israel yang lebih kuno, Shechem. Ketika muslim awal melepaskan diri dari Yerusalem, Shechem memberikan model yang pantas untuk menciptakan pusat sembahan mereka sendiri.
Kemiripannya luarbiasa. Masing-masing punya struktur yang sama sebuah kota suci yang berhubungan dan dekat dengan gunung keramatnya, dan masing-masing ritual fundamentalnya adalah ibadah dari kota ke gunung tersebut. Masing-masing pusat sembahan itu adalah dasar dari kepercayaan Abrahamik, pilar dimana Abraham membuat korban di Shechem menemukan padanannya dalam Kabah (sudut Yaman dari Kabah) di Mekah. Terakhir, tempat keramat masing-masing dekat dengan kuburan dari kakek moyang mereka masing-masing: Yusuf (lawan dari Yudah) untuk Samaritan, Ismail (lawan dari Ishak) untuk Mekah.[41]

CC berpendapat bahwa kota yang sekarang dikenal sebagai Mekah di Arab Tengah tidaklah menjadi pusat dari peristiwa-peristiwa penting yang begitu dipuja-puja dalam hadis-hadis. Diluar dari tidak adanya referensi muslim awal yang sejaman mengenai Mekah, kita punya fakta mengejutkan bahwa arah kiblat mereka sebelumnya adalah barat-laut Arab. Bukti berasal dari ditariknya garis lurus antara mesjid-mesjid jaman itu dan bukti-bukti literatur dari sumber-sumber Kristen. Dengan kata lain, Mekah terpilih sebagai arah kiblat muslim belakangan saja, ini dilakukan hanya untuk mengkaitkan sejarah awal mereka dengan Arab, untuk melengkapi kelepasan mereka dengan Yudaisme, dan terakhir untuk menciptakan identitas agama yang terpisah (berbeda) dari agama Abrahamic lainnya, Yahudi dan Kristen.

Isi lainnya dari buku yang menarik ini, CC menunjukkan bagaimana Islam mengasimilasi semua pengaruh luar yang masuk akibat penaklukan mereka; bagaimana Islam mendapatkan identitas khusus dalam pertemuan dengan peradaban yang lebih tua, lewat kontak-kontaknya dengan para rabbi Yudaisme, KeKristenan (Jacobite dan Nestorian), Hellenisme dan ide-ide Persia (hukum rabbinic, filosofi Yunani, Neoplatonisme, Hukum Romawi dan seni dan arsitektur Byzantine).
Tapi mereka juga menunjukkan bahwa semua ini didapat dengan harga budaya yang sangat mahal. “Penaklukan Arab yang cepat menghancurkan satu kekaisaran, dan secara permanen melepaskan teritorial maha luas. Hal ini, dari sudut pandang kenegaraan, adalah bencana maha dashyat.”[42]

Dalam buku Slaves on Horses: The Evolution of the Islamic Polity (1980), Patricia Crone menolak hadis yang meriwayatkan kekalifahan awal (sampai tahun 680) sebagai fiksi tak berguna. Dalam buku Meccan Trade and the Rise of Islam (1987), dia berpendapat bahwa yang disebut-sebut sebagai laporan sejarah adalah “bualan khayal untuk ayat-ayat sulit Quran.[43] Dalam Meccan Trade, Crone secara meyakinkan menunjukkan bagaimana Quran “memproduksi banyak sekali informasi-infromasi palsu.” Banyak sekali peristiwa bersejarah yang katanya menjadi penyebab wahyu-wahyu tertentu diturunkan (contohnya Perang Badar). Jelas sekali kisah-kisah yang keluar dari peristiwa itu dikarang agar sesuai dengan ayat-ayatnya Quran.” Jelas para pengarang cerita pertama mengarang konteks sejarahnya untuk ayat-ayat tertentu dari Quran. Tapi ketahuan banyak dari informasi tersebut bertentangan (contoh, dikatakan ketika Muhammad tiba di Medina untuk pertama kali, kota itu dilanda perang saudara, tapi disaat yang sama kita diminta untuk percaya bahwa orang-orang Medina disatukan dibawah pemimpin Ibn Ubayy); dan ada kecenderungan “kisah-kisah yang bebas jelas-jelas tidak sesuai dengan tema umum yang ada” (contoh, sejumlah besar kisah sekitar tema “Muhammad bertemu dengan para wakil agama non islam yang lalu mengakuinya sebagai seorang calon nabi masa depan”) Terakhir, ada kecenderungan informasi tertentu berkembang menjauh dari peristiwa yang diceritakan: contoh, jika seorang pencerita kebetulan meriwayatkan sebuah perampokan, pencerita berikutnya akan mengatakan padamu tanggal yang tepat dari perampokan ini, dan yang ketiga akan menambahkan dengan detail rincian lain. Waqidi (m.823) yang menulis beberapa dekade setelah Ibn Ishaq (m.768), “selalu memberikan tanggal, lokasi, nama-nama, padahal Ibn Ishaq tidak menyebutkannya, kisah-kisah yang memicu ekspedisi perampokan, informasi tambahan yang menambahkan warna pada peristiwa-peristiwa tertentu, juga alasan-alasan mengapa tidak ada peperangan terjadi. Tidak heran para Scholar lebih menyukai Waqidi; darimana lagi kita bisa mendapatkan informasi yang demikian akurat dan hebat mengenai hal-hal yang orang ingin ketahui? Tapi jika melihat bahwa semua informasi akurat ini tidak diketahui oleh Ibn Ishaq, yang hidup lebih dekat pada sang nabi dibanding Waqidi, nilai riwayat Waqidi sangat-sangat diragukan. Dan jika informasi-informasi palsu bisa dikumpulkan dengan kecepatan seperti ini, hanya dalam dua generasi saja antara Ibn Ishaq dan Waqidi, sulit sekali untuk menghindari kesimpulan bahwa harusnya bisa lebih banyak lagi dikumpulkan informasi yang lebih akurat dalam tiga generasi antara sang nabi dan Ibn Ishaq.”

Jelaslah bahwa para sejarawan muslim awal membuat sebuah kolam informasi dari materi-materi palsu para periwayat pembohong. Crone berpendapat bahwa tugas sejarawan modern konservatif, seperti Watt, yang secara tidak benar optimis akan sebuah nilai sejarah dari sumber- sumber muslim mengenai kebangkitan Islam. Dan kita akan akhiri bab ini dengan mengutip kesimpulan Crone mengenai semua sumber- sumber muslim ini:
[Metodologinya Watt bersandar] pada penilaian yang salah akan sumber- sumber ini. Masalahnya adalah asal-usul hadis itu sendiri, bukan penyimpangan kecil yang lalu diterapkan. Membiarkan penyimpangan muncul dalam perbedaan pakem di dalam Islam seperti dalam bidang suku, sekte, atau sekolah tidaklah membantu membenarkan tendensius yang muncul dari kepatuhan akan Islam itu sendiri. Keseluruhan hadis itu sendiri tendensius, tujuannya adalah untuk membesar-besarkan Heilgeschichte-nya arab, dan tendensius ini membentuk fakta-fakta seperti yang kita terima sekarang, bukan semata ditambahkan oleh sebagian orang yang bersikap berat sebelah (apriori) yang pernyataannya bisa kita ambil.”[44]


-----------------------------------------
[32] Cook, M. Muhammad. Oxford, 1983. Hal. 65 [33] Ibid., hal.74
[34] Ibid., hal 75-76 [35] Ibid., hal.76-82
[36] Humphreys, R. S. Islamic History, A Framework for Inquiry. Princeton, 1991. hal.85
[37] Crone, P., and Cook, M. Hagarism: The Making of the Muslim World. Cambridge,
1977. Hal.9 [38] Ibid., hal.8
[39] Ibid., hal.114ff
[40] Ibid., hal.18 [41] Ibid., hal.21
[42] Cook, M. [Muhammad. Oxford, 1983. Hal.86
[43] Crone, P. Meccan Trade and the Rise of Islam. Oxford, 1987. Hal. 215 [44] Ibid., hal.230

5 komentar:

  1. hihi, kasian engga ada yg komen. :p

    terima kasih byk ya, blognya keren. mencerahkan banget.hehe

    BalasHapus
  2. karena kebenaran alquran pembuat blok stresssss

    BalasHapus
  3. maka kesimpulannya mahu kata Muhammad itu tidak lebih dari kisah dongeng? haha...
    jika sumber kamu itu diambil dari penulis yang latar belakangnya memang bencikan Islam dan Muhammad, maka hujah kamu itu tertolak..

    seharusnya diambil dari mereka yang neutral sikapnya dan diakui wibawanya dalam menulis sejarah..
    jika ahli sejarah non muslim berkata buruk tentang Islam dan Muhammad itu biasa..
    ahli sejarah yang berkata baik tentang Islam dan Muhammad itulah yang luar biasa..

    BalasHapus
  4. Alhamdulilah blognya keren..muanteb..telak..sangat mencerahkan..bravo

    BalasHapus
  5. Alhamdulilah blognya keren..muanteb..telak..sangat mencerahkan..bravo

    BalasHapus